Bisnis.com, JAKARTA - Manajer aset kekayaan mulai menghindari surat utang di Asia seiring dengan spekulasi bahwa kawasan ini akan menjadi yang paling bontot dalam menerapkan kenaikan suku bunga acuan.
Dilansir Bloomberg pada Minggu (6/2/2022), Fidelity International Ltd., dan Abrdn Plc., mulai meninggalkan surat utang lokal Asia dan lebih memilih yang lain karena kawasan ini akan lebih lama melakukan pengetatan kebijakan moneter.
Sementara itu, bank sentral di beberapa negara di Amerika Latin tengah berada di depan kurva, menciptakan perlombaan pada surat utang antar kawasan.
Manajer Uang Fidelity Paul Greer memperkirakan bank sentral di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika (EMEA) dan Amerika Latin menyelesaikan siklus pengetatan kebijakan moneternya sebelum Asia.
"Jadi secara umum kami menghindari surat utang lokal Asia dan melihat kelebihan di kawasan lain," ujarnya.
Sebagian besar obligasi lokal Asia telah jatuh sepanjang tahun ini, sementara Afrika Selatan, Brasil, Chili dan Turki mencatat kenaikan terbesar di antara negara-negara berkembang.
Baca Juga
Hal ini terjadi bahkan ketika Federal Reserve bersiap untuk menaikkan suku bunga.
Ketika pembuat kebijakan di Amerika Latin dan Eropa mempelopori siklus pengetatan di pasar negara berkembang, Asia justru menahan suku bunga. China bahkan melonggarkan kebijakannya pada Januari.
"[Kenaikan] ada di Amerika Latin dan EMEA. Asia baru saja memulai kenaikan inflasi seiring dengan negara meninggalkan kebijakan nol Covid," ungkap Edwin Gutierrez, Kepala Surat Utang Negara Berkembang di Abrdn, London.
Hal ini juga mengundang risiko tekanan penurunan pada obligasi lokal yang muncul dari pembuat kebijakan hawkish di ekonomi utama.
Bank Sentral Eropa tidak lagi mengesampingkan kenaikan suku bunga tahun ini, sementara The Fed secara luas diperkirakan akan memulai siklus pengetatan pada bulan Maret.
"[Namun], hasil yang efektif harus mempertahankan premi mereka atas Treasuries AS di sebagian besar negara berkembang," kata Damian Sassower, Kepala Strategi Kredit Pasar Berkembang di Bloomberg Intelligence, dalam laporan 27 Januari.