Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IPO Global Rontok di Awal 2022, Banyak Calon Emiten Mundur

Wall Street mencatat sembilan perusahaan gagal IPO setelah muncull gejolak pasar selama Januari 2022. Mundurnya calon perusahaan tercatat juga terjadi di Bursa Eropa.
Pekerja berada di lantai Bursa Efek New York (NYSE) di New York, AS, Senin (3/1/2021). Bloomberg/Michael Nagle
Pekerja berada di lantai Bursa Efek New York (NYSE) di New York, AS, Senin (3/1/2021). Bloomberg/Michael Nagle

Bisnis.com, JAKARTA - Initial Public Offering (IPO) di pasar saham global menunjukkan penurunan 60 persen atau senilai US$26,7 miliar sepanjang Januari 2022 dibandingkan periode yang sama setahun sebelumnya.

IPO global berpotensi semakin terguncang setelah kenaikan suku bunga bank sentral Amerika, Federal Reserve. Pelemahan ekonomi global dan ketegangan geopolitik juga membuat pasar saham global berada di posisi terburuk selama sebulan sejak pandemi dimulai.

Saham perusahaan teknologi, termasuk yang IPO baru-baru ini telah menunjukkan kerentanan terhadap aksi jual karena investor yang lebih condong ke saham yang lebih murah.

"Ini adalah situasi yang sulit bagi pencatatan baru. Banyak investor sedang bergulat dengan portofolio mereka yang berubah negatif," kata Kepala Pasar Modal Ekuitas BNP Paribas SA Andreas Bernstorff.

Indeks Volatilitas Cboe (VCI), indeks yang mengukur estimasi perubahan pasar, telah melonjak 60 persen pada bulan ini, sebuah sinyal merah untuk penjualan saham baru.

Bahkan bursa New York mencatat sembilan perusahaan gagal IPO setelah gejolak pasar, termasuk platform sumber daya manusia berbasis cloud Justworks Inc., dan Four Springs Capital Trust. Selain itu, perusahaan cangkang dengan valuasi US$4 miliar juga membatalkan pencatatan pada bulan ini.

Sementara itu, di Eropa, startup WeTransfer menarik penawaran di Amsterdan pada Kamis setelah gagal menarik minat investor yang cukup. Sehari setelahnya, produsen obat Jerman Cheplapharm Arzneimittel GmbH juga memutuskan untuk menunda listing-nya.

Calon IPO terbesar kedua dari firma hukum Inggris Mishcon de Reya LLP telah lebih memilih menundanya.

Dengan demikian, nilai IPO yang batal secara global sejak tahun lalu diperkirakan mencapai US$6,2 miliar. Korban lain baru-baru ini adalah Hyundai Engineering Co., dari Korea Selatan yang menarik listing-nya senilai US$1 miliar pada Jumat setelah gagal menarik permintaan pada valuasi yang diinginkannya.

"Ketika aksi jual menghilangkan sebagian buih dari pasar, dan kemungkinan akan menciptakan banyak peluang dalam pertumbuhan saham untuk jangka panjang. Itu akan menjadi keputusan berani bagi perusahaan untuk mendorong IPO pada situasi saat ini," ungkap Kepala Investasi Global untuk Ekuitas Allianz Global Investors Virginie Maisonneuve .

Sementara itu, bursa tersibuk di Asia, Hong Kong telah mencatatkan penurunan IPO mencapai 40 persen pada tahun ini setelah tindakan keras dari regulator China.

Kepala Sindikat Ekuitas Global Berenberg Fabian De Smet mengatakan para manajer dana lebih fokus pada memposisikan ulang portofolio mereka daripada membeli efek baru. I"PO dengan cepat berpindah dari atas ke bawah daftar prioritas mereka," paparnya.

Semakin Anjlok

IPO dengan valuasi tertinggi pada 2021 dicatatkan oleh perusahaan teknologi, layanan online dan e-commerce, termasuk rival TikTok Kuaishou Technology di Hong Kong, penyedia loker paket Polandia InPost SA dan aplikasi kencan AS Bumble Inc.

Pengguna aplikasi perusahaan ini memang naik selama lockdown, tetapi perolehan untung langsung rontok ketika ekonomi dibuka kembali.

Sembilan dari saham 10 IPO terbesar sekarang sudah tenggelam, seperti penyedia layanan transportasi online DiDi Global Inc., yang sahamnya anjlok 73 persen sejak memimpin listing.

Saham produsen truk listrik Rivian Automotive Inc., milik Amazon juga merosot hingga 67 persen dari puncaknya, hanya sepekan setelah penjualan saham perdana pada November 2021.

Adapun perusahaan layanan keuangan terkemuka asal California Robinhood Markets Inc., mencatatkan penurunan hingga 85 persen dari nilai tahun lalu. Prospek pendapatan pada kuartal pertama juga diperkirakan tidak bakal tercapai.

"Sepertinya pasar dan selera investor akan lebih sunyi daripada tahun lalu. Pertanyaannya, akankah pasar mau mencerna sejumlah kesepakatan pada tingkat valuasi yang mereka inginkan?" ujar Chi Chan, Manajer Portofolio Federated Hermes.

Kendati demikian, perusahaan seperti LG Energy Solution dari Korea Selatan berhasil meraup US$10,7 miliar pada bulan ini, naik 70 persen setelah menjadi IPO terbesar di negaranya,

Perusahaan asuransi BUMN India Life Insurance Corp., juga diperkirakan akan segera go public dalam kesepakatan yang dapat bernilai sebanyak US$203 miliar.

Setelah rekor lonjakan Indeks VIX pada Maret 2020, kesepakatan baru mulai kembali hanya dalam 2 bulan kemudian. Jika daftar kandidat memperhatikan kehati-hatian investor pada harga, 2022 bisa menjadi titik balik.

"Secara umum, sebagian besar perusahaan masih bergerak maju dengan rencana IPO mereka. Selama ekspektasi valuasi emiten sejalan dengan kondisi pasar, saya pikir masih ada permintaan untuk IPO," kata Shi Qi, Kepala ECM China International Capital Corp.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nindya Aldila
Editor : Farid Firdaus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper