Palu pengesahan Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD) telah diketuk. Persoalannya, ketuk palu di tengah produktivitas legislasi daerah yang cenderung lamban berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan masyarakat terdampak.
Pada aras PDRD, terdapat perubahan persentase range tarif (misalnya Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan) dan formulasi pajak hingga perubahan nomenklatur (fusi nomenklatur sejumlah pajak menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu).
Hal ini menghadirkan sejumlah potensi implikasi terhadap pelaku usaha dan masyarakat sipil berupa kenaikan biaya pajak yang harus dibayarkan. Kekhawatiran itu beranjak dari fakta problematik: Pemda gemar memasang tarif pajak dengan persentase tertinggi dari range yang diatur.
Ekspektasi terhadap UU ini cukup tinggi, yaitu menuntaskan persoalan kemandirian fiskal daerah. Faktanya, sebagian besar daerah masih menghasilkan PAD yang rendah. Laporan BPK terkait kemandirian fiskal menunjukkan bahwa pada 2020 tidak ada pemda dengan kondisi sangat mandiri. Data ini menegaskan bahwa reformasi fiskal daerah dari masa ke masa nyatanya belum mereduksi persoalan ketergantungan fiskal daerah.
Proses perubahan tarif di daerah tidak dapat dieksekusi secara instan oleh Pemda. Proses penyusunan Perda memakan waktu lama. Kini UU HKPD mengamanatkan penyusunan Perda terkait pajak daerah harus melalui mekanisme evaluasi oleh pemerintah pusat dalam kurun waktu tertentu.
Dampaknya, mekanisme harmonisasi produk hukum perpajakan daerah yang butuh waktu menyisakan ruang kosong transisi. Lalu, bagaimana praktik pemungutan pajak daerah di masa transisi ?
Pemerintah menegaskan terdapat beberapa klasul dalam UU HKPD yang bersifat transisi. Masa transisi ditetapkan lima tahun. Selain itu, UU ini mengamanatkan terbitnya peraturan turunan dalam dua tahun pasca pengesahan. Detail implementasi akan termaktub dalam peraturan pemerintah sebagai peraturan turunan atas UU HKPD.
Sejauh mana pemerintah dapat mengeksekusi penerbitan beragam peraturan turunan yang terdampak akibat reformasi pada klasul beleid ini? Proses transisi regulasi fiskal daerah perlu mengambil sejumlah pelajaran penting dari implementasi UU Cipta Kerja yang bermasalah.
Proses penyusunan peraturan turunan UU sapu jagat di daerah masih terhambat, bahkan sebagian besar daerah belum menyiapkan draf peraturan pelaksanaannya. Aturan tersebut juga memuat ketentuan terkait fiskal daerah yang merupakan angin segar bagi pelaku usaha dalam konteks perbaikan ekosistem investasi daerah. Di sisi lain klasul ini menjadi puting beliung tatkala implementasinya menghadapi benturan dengan dinamika di daerah.
Dalam kasus praktik pemungutan retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), pasca perubahan nomenklatur (yang sebelumnya Izin Mendirikan Bangunan) Kemendagri justru menerbitkan SE No: 011/5976/SJ. Salah satu pokoknya, jika pemda belum menetapkan Perda tentang Retribusi PBG sampai enam bulan setelah PP 16/2021 berlaku, retribusi PBG harus disetor ke kas negara.
Jelas hal ini mengundang resistensi dari pemda. Pelajaran penting dari persoalan di atas adalah perlunya strategi implementasi yang clear dalam pemberlakuan UU HKPD. Masa transisi menjadi momentum ‘sakral’ bagi pemda untuk mulai menata kembali regulasi fiskal daerah.
Perda PDRD sebagai daya dukung ekosistem investasi dan daya saing daerah seyogyanya menjadi prioritas dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda). Produktivitas legislasi DPRD di daerah menjadi penentu dalam agenda transisi regulasi fiskal daerah.
Dalam rangka menghadirkan kepastian terhadap pelaku usaha dan masyarakat, harus ada kejelasan mengenai pemungutan pajak dan skema transfer daerah. Contohnya, praktik pemungutan opsen. Peraturan turunan wajib menjelaskan secara clear definisi dan konteksnya, apakah opsen menghadirkan pungutan tambahan yang membebani pelaku usaha atau bagi hasil antar pemda?
Selain itu, bagaimana maksud Dana Bagi Hasil (DBH) lainnya dalam klausul transfer keuangan daerah. Tak kalah penting adalah menghadirkan ruang deliberatif pada proses penyusunan berbagai peraturan turunan. Keterbukaan akses bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam proses legislasi peraturan daerah menjadi modalitas utama dalam menghasilkan produk hukum yang berkualitas untuk menghindari distorsi.
Diskursus mengenai perpajakan bukan soal willingness to pay tetapi menitikberatkan pada ability to pay sebagai indikator penentu dalam upaya peningkatan PAD. Pengaturan tarif dan mekanisme perpajakan diharapkan sejalan dengan upaya penguatan daya saing dan pembenahan ekosistem investasi di daerah.
Di sinilah peran masa transisi, di mana proses penyesuaian implementasi UU HKPD dapat dikalkulasikan secara presisi sesuai dengan kesiapan penerapannya di daerah.