Bisnis.com, JAKARTA – Proyek gasifikasi dinilai belum bisa menggantikan pasar batu bara yang nantinya diproyeksikan bakal meredup seiring dengan pelaksanaan transisi energi.
Ketua Indonesia Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan bahwa kebutuhan batu bara untuk proyek gasifikasi sampai dengan 2030 diperkirakan hanya mencapai paling banyak 40 juta ton.
Menurutnya, hal itu tidak akan menggantikan pasar batu bara yang akan hilang di masa depan, mengingat produksi tahunan emas hitam Indonesia retara berada di angka 500 juta–600 juta ton.
Dia menjelaskan, industri batu bara akan memasuki masa kritikalnya pada 2025–2026, pada saat negara importir batu bara terbesar, yakni China dan India menetapkan arahnya pada masa transisi energi.
Potensi kehilangan pasar batu bara dari dua negara itu dinilai akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan potensi kebutuhan batu bara untuk proyek gasifikasi.
“Jangan diharapkan bahwa ini menjadi pengganti pada saat batu bara sunset. Kalau volume batu bara ini diharapkan bisa mengganti dampak terhadap negara importir, saya rasa tidak balance 36 juta sampai dengan 40 juta kebutuhan hingga 2030,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (24/1/2022).
Baca Juga
Dia menjelaskan, proyek gasifikasi tersebut juga masih belum menarik untuk dilakukan, mengingat tingkat investasinya yang sangat besar.
Proyek tersebut, kata dia, masih memerlukan sejumlah insentif tambahan, selain pemberian royalti 0 persen, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Pada saat ini, lanjutnya, proyek itu baru akan dimulai oleh PT Bukit Asam Tbk. sebagai lokomotif, dan diikuti oleh perusahaan-perusahaan yang akan mendapatkan perpanjangan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) sampai dengan 2030 mendatang.
Namun, perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) tidak diwajibkan untuk proyek gasifikasi tersebut.
“Kalau itu ekonomis dan menguntungkan, menariknya itu kan bukan kepentingan perpanjangan, tapi siapapun pelaku bisnis memanfaatkan peluang gasifikasi,” jelasnya.