Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) meminta pemerintah memastikan kecukupan subsidi untuk minyak goreng menjelang Ramadan, seiring dengan potensi kenaikan permintaan domestik dan ekspor. Harga minyak sawit juga diramal masih berpeluang naik.
"Keperluan minyak goreng akan luar biasa, dan dari sekarang mesti kita pikirkan karena bila terlambat saya tidak tahu akan seperti apa kenaikan harga," kata Ketua Umum AIMMI Adi Wisoko dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VI DPR, Rabu (19/1/2022).
Pemerintah telah menerapkan kebijakan satu harga minyak goreng yang dipatok Rp14.000 per liter untuk berbagai jenis kemasan di seluruh Indonesia. Harga yang lebih rendah dari harga normal ini diterapkan karena pemerintah memberikan subsidi atas harga keekonomian produsen dan harga yang ditetapkan.
Kementerian Perdagangan menyebutkan harga keekonomian minyak goreng, baik premium maupun kemasan sederhana, dipatok Rp17.000 per liter sehingga subsidi yang disiapkan Rp3.000 per liter.
Adapun alokasi anggaran subsidi yang diberikan pemerintah berjumlah Rp7,6 triliun untuk pengadaan 1,5 miliar liter minyak goreng selama 6 bulan ke depan.
"Meskipun harga sudah ditetapkan Rp14.000 per liter, apakah itu bisa menjangkau konsumsi yang tinggi pada bulan-bulan itu [Ramadan]? Ditambah lagi ada ekstra pembelian dari internasional," kata Adi.
Dia mengemukakan permintaan dari negara-negara berpenduduk mayoritas muslim terhadap minyak goreng ke Indonesia akan meningkat. Oleh karena itu, pemerintah dia sebut perlu menyiapkan antisipasi sedini mungkin.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indoensia (GIMNI) Sahat Sinaga mengemukakan serapan produk sawit di dalam negeri terus meningkat, meski porsinya tidak mendominasi. Sebagian besar produksi produk minyak sawit dipasok untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Pada 2019, persentase konsumsi domestik sekitar 31 persen dari total produksi dan pada 2021 meningkat menjadi 35 persen akibat implementasi kebijakan biodiesel. Serapan dalam negeri diperkirakan naik menjadi 37 persen.
"Kita adalah produsen terbesar di dunia, tetapi tidak bisa menjadi price leader [penentu harga] karena mayoritas produksi kita tidak dikonsumsi oleh domestik," kata Sahat pada kesempatan yang sama.
Sahat mengatakan jika tingkat konsumsi hingga tahun ini masih berkisar 37 persen, akan sulit bagi Indonesia untuk menjadi penentu harga. Mayoritas produksi yang diserap oleh pasar internasional membuat masih sangat tergantung pada situasi global.
Terlepas dari situasi konsumsi domestik yang masih rendah, Sahat memaparkan ekspor sawit terus menunjukkan perkembangan positif. Pada 2019, sebanyak 22 persen ekspor merupakan produk hulu dengan nilai tambah rendah dan 78 persen produk hilir bernilai tambah tinggi. Adapun pada 2021, ekspor produk hulu kembali turun menjadi hanya 10 persen dan sisanya merupakan produk hilir.