Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan menyebut nuklir perlu dipertimbangkan untuk mendukung transisi energi di Indonesia. Dia menyebut hal ini perlu didorong pembahasannya termasuk pada forum internasional seperti G20.
"[Indonesia] tidak bisa mencapai elektrifikasi bangsa yang modern tanpa mempertimbangkan nuklir. Kalau kita hanya mau merangkul energi baru dan terbarukan [EBT] saja, seperti tenaga surya, air, panas bumi, dan hidro, itu tidak terukur. Tenaga surya saja [untuk menghasilkan listrik] satu mega watt saja [membutuhkan] satu hektar," ujarnya saat berbincang dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno melalui YouTube, Jumat (14/1/2022).
Gita juga menyoroti elektrifikasi di Indonesia masih cukup rendah jika dibandingkan dengan Singapura, dalam lingkup ASEAN. Di Indonesia, jelasnya, elektrifikasi baru mencapai 1.000 kilo watt/jam untuk setiap orang. Tingkat elektrifikasi itu masih rendah dibandingkan dengan Singapura yang sudah mencapai 9.000 kilo watt/jam.
Menurut Gita, elektrifikasi menjadi salah satu faktor penting untuk menjadikan suatu bangsa sebagai bangsa modern. Untuk itu, Indonesia harus mencapai ambang batas atau threshold tingkat elektrifikasi bangsa modern yaitu 5.000 kilo watt/jam.
"Elektrifikasi kita harus naik dari 72.000 mega watt yang sudah terbangun, menjadi minimum 400.000 mega watt. Dipikir saja untuk naik dari 72.000 ke 400.000 mega watt, itu per tahun kita cuma bisa bangun 3.000-5.000 mega watt [pembangkit tenaga listrik]," jelasnya kepada Sandiaga.
Oleh sebab itu, Gita menilai Indonesia perlu mengambil jalan tengah antara keperluan elektrifikasi dan transisi dari energi kotor dengan menggunakan nuklir untuk mengaliri kebutuhan energi nasional. Namun, dia menjelaskan terdapat pro-kontra dari usulan tersebut.
Baca Juga
Selain dinilai kontroversial, mantan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini mengakui bahwa nuklir bersifat accident-prone, atau cenderung menyebabkan suatu kecelakaan di atas rata-rata. Misalnya, kecelakaan di Chernobyl 1986 serta Fukushima pada 2011.
Kendati demikian, Gita menilai keuntungan dari energi nuklir yaitu bersih secara dampaknya terhadap lingkungan. Dia berargumen bahwa tingkat fatalitas yang berpotensi ditumbulkan energi nuklir lebih rendah dari energi karbon.
Di Indonesia, PT PLN (Persero) sebelumnya memperkirakan bahwa konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik akan terus mengalami kenaikan hingga 9 tahun ke depan. Terdapat proyeksi bahwa kebutuhan terhadap batu bara mencapai 153 juta ton pada 2030.
"Nuklir ini terbukti environmentally clean, tapi dia accident-prone. Tapi kalau [saya] hitung statistik angka kematian [akibat nuklir], per tahunnya cuma sampai 4.000-5.000 orang. Sedangkan karbon, itu 7 sampai 8 juta. Karena [menyebabkan] polusi," jelasnya.
Gita menambahkan bahwa Indonesia bahkan tidak akan bisa mencapai kebutuhan elektrifikasi serta Nationally Determined Contibution (NDC) seperti yang tertuang dalam Paris Agreement, jika tidak mempertimbangkan nuklir untuk elektrifikasi.
"Ini agak-agak provokatif. Tapi, anak-anak muda harus berpikir bagaimana solusinya. Itu harus ada yang berani ngomong gitu di G20," tegasnya.
Seperti yang diketahui, Presidensi G20 oleh Indonesia menetapkan transisi energi atau penanganan dampak perubahan iklim sebagai agenda priroitas dalam setahun ke depan. Hal itu sejalan dengan target Indonesia terkait dengan penurunan emisi pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.
Komitmen penanganan perubahan iklim juga didorong pada dokumen NDC yang diperbaharui di 2021 yaitu pemuatan strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim 2050. Pada dokumen tersebut, pencapaian emisi nol atau net-zero emission ditargetkan pada 2060 atau lebih awal.
Indonesia pun berencana untuk memensiunkan lebih dini PLTU batu bara di Indonesia (phase-out) untuk mencapai emisi nol 2060. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat biaya yang diperlukan bisa mencapai hingga Rp3.500 triliun.