Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waduh Kualitas CPO Indonesia Bisa Memburuk Karena Ini

Dalam jangka waktu panjang, kondisi pohon dan perkebunan sawit rakyat yang tua itu bakal menurunkan kualitas produk CPO dalam negeri.
Pekerja memanen kelapa sawit di Desa Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Selasa (22/9/2020). /Antara Foto-Muhammad Bagus Khoirunas
Pekerja memanen kelapa sawit di Desa Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Selasa (22/9/2020). /Antara Foto-Muhammad Bagus Khoirunas

Bisnis.com, JAKARTA — Pakar Agribisnis dari IPB University Bayu Krisnamurthi mengkhawatirkan rendahnya realisasi program peremajaan perkebunan sawit rakyat bakal berdampak negatif pada daya saing minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia di pasar dunia.

Dalam jangka waktu panjang, Bayu mengatakan, kondisi pohon dan perkebunan sawit rakyat yang tua itu bakal menurunkan kualitas produk dalam negeri.

“Hal ini tentu akan merugikan petani sendiri dan pada gilirannya menurunkan daya saing produk sawit kita dan juga memperlambat laju pertambahan produksi,” kata Bayu melalui pesan WhatsApp, Rabu (12/1/2022).

Bayu mengatakan rendahnya realisasi program peremajaan perkebunan rakyat itu memang itu disebabkan karena permasalahan legalitas lahan yang digunakan petani di daerah. Program replanting itu mensyaratkan agar perkebunan sawit rakyat itu memenuhi standar Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

“Presiden sudah pernah memberi instruksi agar dicarikan solusi atas permasalahan tersebut. Tampaknya belum berjalan,” tuturnya.

Berdasarkan data milik Direktorat Jenderal Perkebunan per 4 Januari 2021, realisasi peremajaan sawit baru mencapai 256.893 hektare sejak tahun 2016 lalu. Torehan itu relatif kecil jika dibandingkan dengan target yang dipatok selama enam tahun terakhir mencapai 745.780 hektare.

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud menuturkan rendahnya realisasi program peremajaan perkebunan sawit rakyat disebabkan karena tingginya harga tanda buah segar (TBS) kelapa sawit selama siklus komoditas beberapa waktu terakhir.

Konsekuensinya, kata Musdhalifah, petani sawit cenderung menunda program peremajaan lahan perkebunan sawit mereka untuk mengoptimalkan nilai TBS yang sedang terkerek naik akibat melonjaknya harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar dunia.

“Banyak hal yang menjadi kendala [replanting] selain legalitas lahan, yakni harga yang sedang tinggi menyebabkan petani lebih memilih menunda replanting dan lain-lain,” kata Musdhalifah melalui pesan WhatsApp, Rabu (12/1/2022).

Adapun harga TBS kelapa sawit periode 29 Desember 2021 hingga 4 Januari 2022 di Riau berada di angka Rp3.148,11 per kilogram. Sementara harga TBS kelapa sawit di Aceh tercatat di kisaran Rp2.780 per kilogram.

Kendati demikian, dia mengatakan, kementeriannya terus berupaya untuk mengoptimalkan program peremajaan perkebunan sawit rakyat itu lewat penyederhanaan aspek legalitas lahan dan jalur kemitraan dengan petani lokal.

“Yang pasti kami terus melakukan upaya-upaya untuk mempercepat replanting antara lain persyaratan yang disederhanakan, membangun mekanisme kemitraan dan lain-lain,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper