Bisnis.com, JAKARTA — Serikat Petani Indonesia (SPI) melaporkan harga pupuk non-subsidi mengalami kenaikan hingga 100 persen pada pekan pertama Januari 2022. Tren kenaikan harga pupuk non-subsidi itu sudah berlangsung sejak Oktober 2021.
Ketua Pusat Perbenihan Nasional (P2N) SPI Kusnan mengatakan kenaikan harga pupuk non-subsidi itu turut mengoreksi pendapatan petani secara nasional. Konsekuensinya, nilai tukar petani atau NTP untuk tahun 2021 masih berada di bawah standar impas.
“Harga pupuk non-subsidi sekarang naiknya tidak wajar sampai 100 persen yang awalnya pada 2020 akhir harganya hanya Rp280.000 per sak [50 kilogram] pupuk Urea, tapi sekarang sampai Rp500.000 per sak bahkan di luar Jawa tembus Rp600.000,” kata Kusnan melalui sambungan telepon, Minggu (9/1/2022).
Berdasarkan catatan SPI hingga pekan pertama Januari 2022, harga pupuk Urea sudah mencapai Rp560.000 per sak. Saat situasi normal harga pupuk itu berada di posisi Rp265.000 hingga Rp285.000 per sak. Hanya saja sejak Oktober hingga November 2021, harga pupuk itu mengalami kenaikan menjadi Rp380.000. Kenaikan harga itu berlanjut pada Desember 2021 mencapai Rp480.000 hingga Rp500.000.
Selain itu, catatan SPI menunjukkan, harga pupuk NPK juga mengalami kenaikan yang signifikan. Misalkan, NPK Mutiara mengalami kenaikan harga mencapai Rp600.000 per sak dari harga sebelumnya di posisi Rp400.000 per 50 kilogram. Sementara NPK Phonska mengalami kenaikan menjadi Rp260.000 per sak (25 kilogram) dari harga awal Rp170.000 per sak.
“Sedangkan harga komoditas, misalkan padi, tidak kunjung naik, bahkan beras di tingkat penggilingan masih Rp8.000, kalau petani jual rugi lah, tidak impas tidak dapat apa-apa, tapi komoditas jagung, petani masih dapat karena harga jual lumayan,” kata dia.
Baca Juga
Selain kenaikan harga pupuk non-subsidi, dia menambahkan, pendapatan petani juga tergerus oleh naiknya biaya buruh tani dan juga pestisida yang sebagian besar masih digunakan oleh petani konvensional.
“Karena harga mahal, produktivitasnya juga jelas akan berkurang jelas pendapatan juga akan berkurang,” tuturya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah berjanji untuk menjaga stok dan keterjangkauan harga pupuk subsidi dan non-subsidi. Langkah itu merespons keluhan petani sawit setelah harga pupuk nonsubsidi mengalami kenaikan signifikan tahun ini.
Sekretaris Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Gunawan mengatakan, pemerintah menyadari pentingnya ketersediaan dan keterjangkauan harga pupuk. Sebab, pasokan pupuk berdampak sosial yang luas karena menjangkau sekitar 17 juta petani di 6063 Kecamatan, 489 Kabupaten dan 34 Provinsi.
”Proses pemupukan yang tepat sasaran berkontribusi tinggi dalam pencapaian produksi pertanian seperti padi,” ujarnya seperti dikutip dari siaran pers, Jumat (29/10/2021).
Berdasarkan data Ditjen PSP Kementan RI, kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57 - 26,18 juta ton atau senilai Rp 63-65 triliun dalam lima tahun terakhir. Namun, keterbatasan anggaran pemerintah hanya dapat mengalokasikan pupuk bersubsidi sebanyak 8,87 juta- 9,55 juta ton dengan nilai anggaran Rp 25-32 triliun.