Bisnis.com, JAKARTA — Konflik Iran—Israel yang makin memanas berpotensi mengancam permintaan ekspor batu bara dan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang merupakan dua komoditas unggulan Indonesia menjadi melemah.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengkhawatirkan ketegangan geopolitik yang membara di kawasan Timur Tengah, terutama konflik yang melibatkan Iran dan negara-negara barat, akan berpotensi pada penurunan permintaan CPO Indonesia.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan potensi penurunan permintaan CPO bakal terjadi jika konflik Iran—Israel terus berlanjut.
“Kalau perang berkepanjangan dan terjadi krisis ekonomi global ini akan berpengaruh terhadap permintaan minyak sawit Indonesia, potensi penurunan sangat besar,” kata Eddy kepada Bisnis, Senin (23/6/2025).
Eddy menilai, jika penurunan permintaan ini terjadi akibat dari krisis ekonomi global maka akan cukup sulit mengatasinya. Hal ini lantaran masing-masing negara importir akan sibuk menyelesaikan masalah ekonomi.
Eddy memperkirakan harga CPO ke depan akan berkisar di rentang US$900-1.000 per metric ton di tengah konflik Iran—Israel yang semakin memanas.
Baca Juga
Dihubungi terpisah, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kusuma Dewi mengatakan pihaknya masih melihat situasi, mengingat kondisinya yang saat masih terus berubah.
Namun pada dasarnya, lanjut Dewi, Kemendag prihatin dengan eskalasi konflik dan berharap konflik Iran—Israel bisa segera usai.
Di sisi lain, Dewi menuturkan Kemendag tetap berupaya mencari alternatif pasar di tengah konflik Iran—Israel melalui perjanjian dagang, seperti Indonesia—Tunisia yang selangkah lagi menunggu penandatangan.
“Demikian pula halnya dengan Indonesia-Eurasia yang juga telah selesai. Pembukaan pasar itu tentu merupakan peluang yang ada untuk meningkatkan ekspor Indonesia,” ujar Dewi kepada Bisnis.
Ekspor CPO dan Batu Bara
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan rata-rata harga komoditas nonenergi, terutama nonminyak dan gas (nonmigas), justru mengalami penurunan. Hal ini seiring dengan kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang semakin menekan sisi permintaan.
Dia melihat efek tarif Trump berdampak pada penurunan harga batu bara dan sawit di pasar internasional sejak kuartal III/2024 sampai sekarang.
“Konflik Timur Tengah ini memang mengubah tingkat harga, tetapi lebih di harga minyak dan gas. Harga minyak memang kembali naik setelah turun, kemudian naik. Gas mulai naik, tetapi tidak terlalu signifikan dibandingkan sebelumnya,” kata Faisal kepada Bisnis.
Sementara itu, lanjut dia, batu bara dan CPO masih relatif tetap rendah meski sudah mulai terlihat mengalami peningkatan harga. Namun, dia melihat peningakatannya tidak terlalu besar dalam beberapa waktu terakhir sejak konflik.
Dengan kata lain, Faisal menyebut tingkat elastisitas kenaikan harga komoditas nonenergi atau nonminyak masih relatif rendah meski ada kecenderungan meningkat.
“Kalau lihat kondisi seperti ini terhadap neraca perdagangan kita, justru harga komoditas ekspor andalan kita seperti sawit dan batu bara harganya masih relatif rendah, karena ditambah lagi dengan kebijakan tarif yang menekan dari sisi permintaan,” ungkapnya.
Menurutnya, jika harga CPO dan batu bara rendah, artinya prospek nilai ekspor juga tidak meningkat secara signifikan. Selain itu, volume perdagangan dua komoditas ini juga diperkirakan melemah lantaran faktor pelemahan permintaan di global.
Di sisi lain, Faisal menilai konflik yang terjadi di Timur Tengah justru mengerek impor minyak, mengingat Indonesia merupakan net importir minyak. Alhasil, Faisal mewanti-wanti ekspor tidak meningkat signifikan, sedangkan keran impor meningkat.
“Artinya potensi terhadap rasa perdagangan memang makin lama surplusnya makin tipis menurut saya dalam kondisi seperti sekarang, pasca perang dagang terutama dan juga ditambah lagi dengan konflik yang mendorong kenaikan harga minyak,” tuturnya.
Sementara itu, ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memproyeksi komoditas batu bara dan CPO akan mengalami defisit di tengah konflik Iran—Israel yang kian memanas.
“Keduanya [batu bara dan CPO] merupakan ekspor terbesar kita. Pasti trade deficit akan makin lebar dan current accountmakin mengaga,” kata Wijayanto kepada Bisnis.
Terlebih, Wijayanto menyebut Indonesia sangat bergantung pada ekspor batu bara dan CPO. Bahkan, kata dia, ekspor batu bara dan CPO mewakili sekitar 20–25% total ekspor Indonesia.
Untuk itu, Wijayanto menyarankan agar pemerintah perlu bersiap mencari pasar baru, mendiversifikasi usaha, melakukan efisiensi operasional, dan menghindari keputusan-keputusan yang berisiko, termasuk melakukan utang berlebih.
Selain itu, dia mengimbau agar pemerintah harus mendorong energi baru terbarukan (EBT) untuk menekan impor energi.
Di samping itu, pemerintah juga perlu mempercepat hilirisasi yang berpegang pada prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance/ESG) untuk mendongkrak nilai tambah ekonomi.
“Lalu, mendorong percepatan industrialisasi dengan memperbaiki iklim investasi agar kita tidak terjebak sebagai eksportir komoditas yang rentan terhadap siklus komoditas global,” ujarnya.
Pasalnya, menurut dia, ketegangan di Timur Tengah akan mendorong banyak negara memperkuat kemandirian energi dan pangan. Adapun dalam hal energi, transisi ke energi hijau akan semakin cepat.
Meski demikian, Wijayanto menilai lonjakan harga kedua komoditas ini hanya dampak sesaat.
“Jika perang terus berkecamuk, pertumbuhan ekonomi dunia melambat, akhirnya demand terhadap komoditas juga ikut melambat walaupun taraf perlambatan demand masing-masing komoditas berbeda, tergantung elastisitas permintaan,” terangnya.
Dalam catatan Bisnis, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor komoditas unggulan, yakni CPO dan turunannya mengalami kenaikan hingga 20% secara kumulatif sepanjang Januari—April 2025.
Berdasarkan data BPS, nilai ekspor CPO dan turunannya mencapai US$7,05 miliar pada Januari—April 2025. Angkanya naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$5,87 miliar.
Tercatat, total volume ekspor CPO dan turunannya mencapai 6,41 juta ton pada Januari—April 2025, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu di level 6,78 juta ton.
Dari sisi harga, CPO dan turunannya di tingkat global pada Januari—April 2025 berada di level US$1.099,82 per ton. Nilainya naik 26,54% dari Januari—April 2024 yang hanya mencapai US$869,16 per ton.
Di sisi lain, nilai ekspor batu bara justru turun 9,89% secara kumulatif, yakni dari US$10,18 miliar pada Januari—April 2024 menjadi US$8,17 miliar pada Januari—April 2025. Sedangkan untuk share pada komoditas ini adalah 9,89%.
Dari sisi volume, komoditas ini turun 5,79% dari 130 juta ton pada Januari—April 2024 menjadi 122,76 juta ton pada Januari—April 2025. Untuk rata-rata nilainya juga turun 14,92% dari US$78,2 per ton menjadi US$66,53 per ton.