Bisnis.com, JAKARTA — Kepatuhan terhadap domestic market obligation (DMO) batu bara yang rendah perlu ditanggapi pemerintah dengan penguatan regulasi. Hal ini terutama untuk memastikan kelangsungan dan stabilitas kinerja industri manufaktur yang lahap energi.
Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan tidak hanya dari sisi volume yang ditetapkan 25 persen, tetapi juga kualitas pasokan untuk kebutuhan dalam negeri.
"Kalau yang disalurkan ke dalam negeri yang kualitas rendah, bagaimana? Sedangkan yang kualitas tinggi diekspor. Regulasi perlu diperbaiki dan diperkuat agar perusahaan-perusahaan bisa taat terhadap DMO 25 persen," katanya kepada Bisnis, Selasa (4/1/2022).
Kewajiban DMO 25 persen ditetapkan melalui Keputusan Menteri ESDM No. 139.K/2021 tentang pemenuhan batu bara dalam negeri. Selain diatur DMO 25 persen juga patokan harga sebesar US$70 per metrik ton.
Mengutip pemberitaan di Harian Bisnis Indonesia, Selasa (4/1/2022), tata kelola pemenuhan aturan DMO batu bara oleh perusahaan tambang tak berjalan dengan baik. Hanya 85 perusahaan saja yang memenuhi DMO 100 persen, sedangkan 489 perusahaan memenuhi pasokan domestik di bawah 15 persen.
Dalam jangka pendek, pemenuhan DMO dengan pelarangan ekspor menjadi penting untuk memastikan pasokan listrik di dalam negeri.
Di sisi lain, Heri memandang keputusan pemerintah untuk menghentikan sementara ekspor batu bara dilatarbelakangi surplus neraca dagang sepanjang 2021. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tren surplus neraca dagang berlanjut sampai November 2021 sebesar US$3,51 miliar karena menguatnya permintaan ekspor dan kenaikan harga komoditas.
"Memang terganggu [kinerja ekspor Januari 2022], tetapi kalau dari Februari sampai akhir tahun bisa bagus ekspornya, bisa surplus lagi," ujarnya.