Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyambut baik keputusan pemerintah melarang ekspor batu bara sepanjang 1–31 Januari 2022.
Sekjen APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan pelarangan ekspor batu bara akan berdampak pada stabilnya utilisasi produksi tekstil yang saat ini sudah mencapai 80-95 persen, termasuk yang berorientasi ekspor.
"Pelarangan ekspor batu bara ini tidak akan menaikkan utilisasi karena sudah tinggi, tetapi kalau tidak dilarang utilisasi kami bisa amblas," katanya kepada Bisnis, Selasa (4/1/2022).
Redma menjelaskan saat pasokan di dalam negeri batu bara tersendat karena volume ekspor meningkat tajam didorong kenaikan harga, banyak pelaku usaha mengalihkan konsumsi energinya dari pembangkit listrik mandiri ke PT PLN (Persero) dengan alasan efisiensi.
Namun, jika pasokan batu bara ke PLN juga tersendat, maka nasib industri manufaktur dalam negeri menjadi salah satu taruhannya. Selain itu, menurut Redma kebijakan pelarangan ekspor batu bara tidak akan serta merta menggerus kinerja pengapalan nasional, justru akan berdampak pada stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
"Saya kira hitungannya bukan sebatas [kinerja] ekspor berkurang, tetapi dampak ekonomi yang terjadi kalau ekspor batu bara tidak dilarang," ujarnya.
Bagi sektor industri yang lahap energi seperti tekstil, semen, baja, makanan dan minuman, dan lain-lain, ketersediaan energi menjadi krusial meski dalam struktur biaya produksi tidak menempati urutan pertama.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi melarang ekspor batu bara selama bulan ini, sesuai Keputusan Menteri ESDM No. 139.K/2021 tentang pemenuhan kebutuhan batu bara dalam negeri.
Dalam beleid tersebut sebenarnya telah diatur domestic market obligation (DMO) sebesar 25 persen.