Bisnis.com, JAKARTA — Meski purchasing managers's index (PMI) manufaktur Indonesia berada pada level ekspansif 53,5 pada Desember 2021, masalah lonjakan harga bahan baku masih menjadi tekanan bagi industri.
Menurut catatan IHS Markit, dari segi harga, baik biaya input maupun output terus naik pada Desember. Tingkat inflasi harga input naik ke posisi tertinggi dalam delapan tahun sementara biaya output naik lebih lambat pada Desember.
Para responden survei menyatakan terjadi kenaikan biaya di semua bahan baku dan juga lonjakan ongkos pengiriman. Hal itu mendorong pelaku usaha meneruskan kenaikan harga kepada konsumen.
Menambah tanda-tanda tekanan rantai pasokan yang berkelanjutan adalah waktu pemenuhan pesanan input yang terus diperpanjang pada Desember. Waktu pengiriman dari pemasok meningkat tajam daripada bulan sebelumnya, didorong oleh penundaan pengiriman dan kekurangan pasokan.
"Hambatan pasokan yang bertahan masih menjadi alasan utama di sektor manufaktur Indonesia, karena kinerja pemasok terus memburuk dan perusahaan terus melaporkan tekanan harga lebih tinggi, yang berdampak pada produksi di beberapa perusahaan," kata Direktur Ekonom IHS Markit Jingyi Pan dalam keterangannya, Senin (3/1/2021).
Sangat penting untuk memonitor jika hal ini terus berdampak pada produksi, atau bahkan mempengaruhi momentum pertumbuhan ke depan.
Senada dengan catatan IHS Markit, Asosiasi Industri Kimia Dasar Anorganik (Akida) juga menyatakan kenaikan harga bahan baku terus berlanjut hingga penghujung 2021. Ketua Umum Akida Michael Susanto Pardi mengatakan ada kekhawatiran bahwa kenaikan harga bahan baku dan ongkos pengapalan yang tajam dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi dan industri pada 2022.
"Dampak kenaikan raw material global karena krisis energi dan freight cost mahal. Jadi modal kerja untuk beli bahan baku naik banyak. Itu bisa menghambat pertumbuhan ekonomi," katanya saat dihubungi Bisnis.