Bisnis.com, JAKARTA – Ekspatriat di Singapura menghadapi tarif sewa hunian yang terus meningkat yang mencapai titik tertinggi dalam 6 tahun terakhir, menurut konsultan properti global Savills.
Kenaikan tingkat sewa hunian ini, vertikal terlebih lagi tapak, merupakan masalah baru yang harus dihadapi orang asing di negara kota tersebut setelah harga beli yang meningkat.
Pelonjakan tingkat sewa itu tak lepas dari seretnya pasokan hunian dan itu juga terpengaruh dari pandemi Covid-19 yang membuat pekerjaan konstruiksi properti terhambat lantaran pembatasan yang membuat minim pekerja migran yang masuk ke negeri jiran tersebut.
“Kekurangan pekerja migran yang berkontribusi pada penundaan konstruksi, memaksa orang untuk menyewa sambil menunggu apartemen dibangun,” kata Alan Cheong, Direktur Eksekutif Riset di konsultan properti Savills, sebagaimana dilansir Bloomberg pada Rabu (29/12/2021).
Orang-orang di Singapura termasuk ekspatriat tak punya pilihan selain bertahan di kota, sebab negara itu memang tak punya perdesaan, yang di negara-negara yang lebih luas jadi opsi untuk mendapat hunian dengan harga atau sewa lebih murah dan juga lebih sehat dengan tingkat polusi yang lebih rendah.
Menurut Cheong, apartemen dengan biaya sewa Sin$2.500 (Rp26,39 juta) hingga Sin$4.000 (Rp42,22 juta) per bulan mungkin menghadapi tekanan kenaikan terbesar di tengah permintaan yang tinggi. Sewa sepanjang tahun ini saja ada yang tumbuh sedikitnya 10 persen dan 15 persen.
Baca Juga
Menurut bank sentral Singapura, indeks harga sewa melonjak menjadi 111,3 pada kuartal III/2021, tertinggi sejak 3 bulan pertama 2015, data Otoritas Pembangunan Kembali Perkotaan menunjukkan.
Singapura merupakan kota kedua termahal di dunia setelah ibu kota Prancis, Paris, menurut peringkat biaya hidup Economist Intelligence Unit untuk 2021. Singapura juga memiliki salah satu pasar properti paling mahal.
Lonjakan harga rumah dan penjualan mendorong pihak berwenang untuk memberlakukan putaran baru langkah-langkah pendinginan awal bulan ini, terutama menargetkan pembelian oleh investor dan orang asing.
Tidak seperti pusat keuangan global lainnya seperti New York dan London, penduduk Kota Singa tidak memiliki pilihan untuk pindah ke perdesaan untuk keluar dari pandemi. Itu berarti permintaan sewa tetap tinggi, memungkinkan pemilik hunian menaikkan biaya.