Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan harga liquefied petroleum gas (LPG) nonsubsidi dinilai akan mendorong terjadinya migrasi pola konsumsi masyarakat menjadi lebih memilih gas LPG 3 kilogram bersubsidi atau yang biasa dikenal sebagai gas melon, karena memiliki harga yang lebih murah.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, kenaikan harga LPG nonsubsidi tidak berdampak terhadap konsumsi LPG secara keseluruhan.
Namun, kondisi itu akan membuat terjadinya peralihan pola konsumsi masyarakat dari yang sebelumnya menggunakan nonsubsidi menjadi ke LPG yang disubsidi pemerintah.
Harapan saya, kenaikan harga LPG nonsubsidi tidak berdampak secara signifikan terhadap migrasi, mengingat pengguna produk tersebut adalah masyarakat kelas menengah ke atas.
“Hal ini sepertinya akan berdampak terhadap kuota LPG subsidi. Harapannya kenaikan ini tidak berdampak secara signifikan terhadap migrasi, mengingat pengguna LPG nonsubsidi adalah masyarakat menengah ke atas,” katanya kepada Bisnis, Senin (27/12/2021).
Seperti diketahui, pada Sabtu (25/12/2021), PT Pertamina (Persero) telah secara resmi menyesuaikan harga jual LPG nonsubsidi yang didorong oleh kenaikan Contract Price Aramco (CPA) LPG di sepanjang 2021 hingga mencapai US$847 per metrik ton pada November 2021.
CPA LPG pada November 2021 naik 57 persen dibandingkan dengan Januari 2021, dan menjadi harga tertinggi sejak 2014, sehingga Pertamina harus melakukan penyesuaian harga jual LPG nonsubsidi.
Adapun, besaran penyesuaian harga LPG nonsubsidi yang porsi konsumsi nasionalnya sebesar 7,5 persen itu berkisar Rp1.600–Rp2.600 per kilogram.
Pertamina terakhir kali menyesuaikan harga LPG nonsubsidi pada 2017. Padahal, kenaikan harga CPA November 2021 tercatat 74 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga LPG nonsubsidi yang belum disesuaikan sejak 4 tahun lalu.