Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memperkirakan surplus perdagangan luar negeri pada 2021 menembus US$37 miliar, melanjutkan tren yang telah tercapai dalam 19 bulan terakhir.
Dia mengatakan industri manufaktur telah menopang neraca perdagangan dan menekan defisit yang dialami Indonesia sebelum pandemi.
Sampai November 2021, total nilai ekspor telah menembus US$209,16 miliar dan menjadi yang tertinggi dalam sejarah. Nilai ini juga melampaui rekor ekspor pada 2011 yang kala itu mencapai US$203 miliar.
Di sisi lain, total impor Indonesia pada periode yang sama mencapai US$174,8 miliar. Nilai ekspor yang lebih besar menempatkan neraca dagang pada posisi surplus US$34,32 miliar setelah pada November 2021 Indonesia kembali mencetak surplus US$3,51 miliar.
"Bisa dibayangkan, kalau ini konsisten di Desember seperti 11 bulan pertama artinya ekspor Indonesia akan menembus angka US$230 miliar. Kita mungkin tetap defisit neraca migas, tetapi surplus nonmigas kita lebih dari US$45 miliar. Saya berkeyakinan bahwa surplus kita tahun ini akan mencapai setidaknya US$37 miliar," kata Lutfi saat melepas ekspor di kawasan industri Karawang, Jawa Barat, Kamis (23/12/2021).
Lutfi menjelaskan kinerja positif ini menjadi penanda evolusi ekspor Indonesia. Dari 5 produk penyumbang ekspor terbesar, Lutfi mengatakan 4 di antaranya merupakan produk industri pengolahan yakni produk minyak sawit, besi dan baja, otomotif, dan elektronik.
"Ini berbeda dengan 2011 ketika penyumbang utama saat itu berasal dari produk berbasis komoditas seperti karet, bijih logam, dan batu bara," katanya.
Lutfi memaparkan ekspor industri pengolahan telah menyumbang 76,51 persen dari total ekspor. Ke depannya, lanjut Lutfi, Indonesia perlu memastikan industri pengolahan tak hanya bertumpu pada komoditas mentah.
"Perlu dipastikan industri pengolahan ini tidak tergantung komoditas sangat. Kita lihat dengan investasi-investasi dan penghiliran di pertambangan dan pertanian akan menimbulkan pertumbuhan yang luar biasa," kata Lutfi.
Terlepas dari optimisme terhadap kontribusi industri pengolahan, Lutfi mengatakan terdapat sejumlah tantangan perdagangan yang harus diantisipasi Indonesia.
Pertama, tantangan fiskal dari negara-negara tujuan ekspor yang mulai menaikkan tingkat suku bunga seiring dengan membaiknya ekonomi.
"Amerika serikat diprediksi akan menaikkan setidaknya tiga kali daripada suku bunga di masa yang akan datang. Ini akan mengganggu perdagangan," katanya.
Lutfi juga mengantisipasi risiko krisis energi di Indonesia, sebagaimana terjadi di India dan China. Kenaikan harga batu bara tercatat memaksa industri di negara-negara tersebut memangkas produksi.
"Lalu krisis logistik yang berlanjut. Namun diperkirakan bisa terurai lebih cepat karena pelabuhan-pelabuhan di Amerika Serikat mulai normal beroperasi. Mereka juga berkomitmen segera mengurai kongesti," katanya.