Bisnis.com, JAKARTA - Membaca ekonomi digital sama halnya dengan menjejak hutan belantara luas yang belum kelihatan ujungnya. Untuk mengetahui koordinat saat ini, diperlukan peta jalan yang mengarahkan tujuan yang ingin dicapai.
Kini e-Commerce yang digadang-gadang sebagai kontributor utama dalam ekonomi digital, perlu diperkuat guideline yang jelas dari pemerintah dan otoritas terkait.
Merujuk laporan e-Conomy SEA 2021, ekonomi digital Indonesia tahun ini diperkirakan mencapai US$70 miliar atau Rp997 triliun. Sebanyak 75,6 persen berasal dari e-Commerce. Bahkan, Kementerian Perdagangan memperkirakan kontribusi e-commerce terhadap ekonomi digital nasional mencapai Rp1.908 triliun pada 2030.
Menyadari urgensi industri e-Commerce, pemerintah menerbitkan PP No.74 Tahun 2017 tentang Roadmap e-Commerce 2017—2019 yang kemudian diperkuat dengan Roadmap Digital Indonesia 2021—2024. Setidaknya ada 3 aspek yang menyangga harapan e-Commerce sebagai rising star di era pandemi yang diharapkan segera berganti menjadi endemi.
Pertama, upaya kolektif pemerintah bersama industri terkait dalam menciptakan ekosistem digital mulai menuai hasil. Mengutip data Bank Indonesia, transaksi e-Commerce tahun ini diproyeksikan mencapai Rp403 triliun dan masih akan meningkat 31,4 persen (Rp530 triliun) pada 2022. Hal ini menunjukkan peningkatan preferensi masyarakat dalam berbelanja secara online.
Di sisi lain, valuasi ekonomi digital nasional pada 2021 yang dibidik sebesar US$70 miliar menjadikan Indonesia ranah digital terbesar se-Asia Tenggara. Skala ekspansi internet yang masif membuat e-Commerce layaknya lubang hitam peradaban yang menyedot perhatian dan mendisrupsi gaya belanja konvensional.
Baca Juga
Kedua, lanskap industri e-Commerce domestik yang dipenuhi oleh perusahaan unikorn, sehingga menjadi modal penting untuk membesarkan industri ini. Kolaborasi yang gencar antara e-Commerce dan perbankan menjadi semacam ‘kawah candradimuka’ yang membuatnya semakin kondusif pada 2022.
Ketiga, e-Commerce merupakan industri yang berbasis pada volume transaksi. Untuk itu, jumlah konsumen menjadi fundamental untuk digarap. Dengan populasi 270 juta penduduk di mana sekitar 165 juta jiwa adalah pengguna mobile internet (laporan We Are Social) menjadi pondasi kokoh untuk mempercepat efek bola salju digitalisasi di Indonesia.
Keempat, intermediasi perbankan yang tertahan akibat pandemi di satu sisi disinyalir membawa berkah bagi peningkatan transaksi e-Commerce. Pasalnya, merujuk Nielsen’s FMGC e-Commerce Report, populasi yang melakukan saving lebih banyak dan cenderung berbelanja lebih besar melalui transaksi online.
Berdasarkan proyeksi Bank Indonesia, dana pihak ketiga tahun ini meningkat 8 persen—10 persen (YoY), sementara jumlah transaksi e-Commerce meningkat drastis sebesar 78 persen.
Tantangan selanjutnya adalah mengkonversi peluang emas tersebut menjadi growth driver ekonomi dengan mencermati tiga persoalan penting. Pertama, basis ekonomi Indonesia adalah konsumsi domestik, sehingga apabila keran pengetatan mobilitas masyarakat mulai dilonggarkan dan pusat perbelanjaan beroperasi penuh, berpotensi menggerus laju kencang e-Commerce.
Kedua, e-Commerce dituntut memiliki inklusivitas sistem pembayaran yang bisa melayani sarana pembayaran apapun yang diinginkan konsumen. Ketiga, sebaran pelapak digital e-Commerce saat ini masih terkonsentrasi di kota-kota besar dan belum merata secara spasial.
Keempat, peran e-Commerce dalam mendukung gelombang ekonomi hijau. Pelaku e-Commerce harus berada dalam satu perahu dengan regulator dalam mewujudkan agenda besar berupa netral karbon. Penerapan strategi berkelanjutan harus selalu dikedepankan.
Berdasarkan studi Generation IM, e-Commerce di Amerika Serikat berkontribusi 17% lebih hemat karbon dibandingkan dengan toko ritel tradisional, karena rantai pasoknya lebih ramah lingkungan.
Gagasan untuk ‘menghijaukan’ e-Commerce perlu didukung semua pihak demi mendorong Indonesia mencapai komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). Dukungan regulasi mutlak diperlukan untuk menyiapkan jalan yang aman, kondusif, dan berdaya tahan bagi industri. Salah satu daya pikat e-Commerce bagi konsumen yaitu kemudahan dalam media pembayaran transaksi.
Dalam hal ini bank sentral telah mengeluarkan kebijakan Standar Nasional Open Application Programming Interface Pembayaran (SNAP) untuk mempercepat terwujudnya ekosistem digital. SNAP terdiri dari seperangkat protokol dan instruksi yang memfasilitasi interkoneksi antaraplikasi secara terbuka dalam pemrosesan transaksi pembayaran.
Dengan adanya SNAP yang akan mulai diterapkan pada Juni 2022 (tahap awal), pembayaran transaksi e-Commerce ke depan akan dapat didukung dengan interkoneksi yang terstandar dengan berbagai penyedia jasa pembayaran yang menerapkan SNAP, sehingga tidak ada lagi fragmentasi.
Pemahaman kolektif oleh semua pihak mengenai tantangan e-Commerce ke depan dan langkah mitigasi menjadi krusial untuk menyiapkan diri sejak awal ketika Indonesia menerapkan exit policy, yang merupakan salah satu agenda Presidensi G20 tahun depan di finance track, khususnya terkait dengan koordinasi pemulihan ekonomi global.
Sinergi yang apik antara pemerintah dan otoritas terkait diperlukan untuk meracik regulasi yang efektif dan efisien, sehingga tidak hanya menjadi peta jalan tetapi juga penerang bagi kemajuan e-commerce.