Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pelabelan risiko bisfenol-A (BPA) oleh BPOM tidak perlu dipertentangkan karena dinilai bakal memperkuat kepercayaan masyarakat pada industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
Achmad Haris, Public Campaigner FMCG Insights, sebuah lembaga riset produk konsumen mengatakan bahwa keresahan industri AMDK atas rencana Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mudah dimengerti mengingat dominasi pasar dan fakta umumnya galon berbahan polikarbonat, jenis plastik yang pembuatannya menggunakan BPA
“Industri AMDK jangan menihilkan peran BPOM hanya karena sebuah perkara yang kebetulan tak sesuai dengan selera. Kepercayaan masyarakat atas produk AMDK tak lepas dari peran aktif BPOM,” katanya dalam keterangan resmi, Selasa (14/12/2021).
Achmad menuturkan risiko BPA telah menjadi percakapan industri sejak awal 1990-an. Pemicunya adalah penelitian yang menunjukkan BPA, dalam level tertentu, bisa memicu risiko kesehatan yang serius.
Inilah yang kemudian mengawali pengawasan rutin migrasi dan paparan BPA di sejumlah negara. Di Indonesia, BPOM pada 2019 menetapkan batas migrasi BPA maksimal 0,6 bpj (600 mikrogram/kg) untuk kemasan polikarbonat.
Hasil pengawasan BPOM selama 5 tahun berturut-turut menunjukkan galon polikarbonat dan tutupnya aman, yakni lebih kecil dari 0.01 bpj (10 mikrogram/kg).
Baca Juga
"Bertahun-tahun industri ADMK meyakinkan publik dengan data hasil uji BPOM itu. Ironisnya, saat lembaga ingin risiko BPA tertera pada label kemasan, industri menolaknya seolah hal asing," tambahnya.
Sebagai gambaran, Kementerian Perindustrian mencatat industri AMDK mencakup 900 perusahaan dengan pekerja sekitar 40.000 orang.
Pada 2020, penjualan AMDK mencapai 29 miliar liter, naik dari 25 miliar liter pada 2015 di mana sekitar 70 persen dari penjualan itu berupa kemasan galon guna ulang.
Achmad menabahkan FMCG Insights mendukung penyelarasan kebijakan pelabelan kemasan AMDK agar publik mendapat informasi akurat.
Dalam rancangan BPOM, produsen diizinkan memasang label “Bebas BPA” untuk produk AMDK dengan kemasan plastik selain Polikarbonat, termasuk Polipropilena (PP) atau PET.
Sementara itu, label peringatan “Mengandung BPA” diwajibkan untuk galon polikarbonat, kecuali produsen mampu membuktikan sebaliknya.
"Redaksi pelabelan itu sudah cukup bersahabat untuk industri AMDK," kata Achmad.
Chandra Liza, Peneliti Balai Teknologi Polimer menambahkan pelabelan BPA penting untuk perlindungan kesehatan publik.
"Bila BPOM sampai jadi merevisi ambang batas migrasi BPA, tentunya akan sangat positif," katanya.
Menurutnya, kebijakan BPOM sejatinya sudah sejalan dengan ketentuan internasional mengingat batas migrasi BPA yang diadopsi Indonesia sama dengan di Korea Selatan dan China.
“Sebenarnya negara kita sangat peduli dan mengikuti perkembangan BPA," jelasnya.
Chandra menjelaskan belum ada bahan campuran plastik yang seefektif BPA. Kalaupun ada pengganti dari bahan sejenis, katanya, kemampuannya belum bisa menyamai karakteristik plastik berbahan BPA yang mudah dibentuk, tahan panas, dan awet.
“Saya masih percaya penggunaan BPA belum bisa tergantikan,” katanya.
Peneliti Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia, Agustino Zulys mengatakan label kemasan AMDK belum memuat informasi spesifik terkait risiko penggunaan kemasan plastik.
Dia mencontohkan galon guna ulang belum menyertakan informasi usia pakai atau batas kadaluwarsa.
"Padahal informasi itu sangat penting dan semestinya itu tertera jelas," katanya.