Bisnis.com, JAKARTA – Pandemi Covid-19 membawa berkah tersendiri bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri, karena terjadi penguatan struktur dan integrasi industry tersebut dari hulu ke hilir.
Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menjelaskan, kemacetan impor bahan baku untuk industri hilir telah memacu utilisasi dan investasi di industri antara.
Demikian juga kinerja industri hulu yang terdongkrak karena permintaan bahan baku industri Antara meningkat karena kendala impor.
“Bahan baku intermediate sudah bisa dipenuhi oleh hulu, bahan baku hilir dipenuhi oleh intermediate. Jadi ini blessing buat kami, dari hulu sampai hilir jadi bisa kerja semua dan terintegrasi,” kata Redma kepada Bisnis, Minggu (5/12/2021).
Redma mengatakan, bahan baku di industri hulu mengalami kenaikan harga hampir sepuluh kali lipat. Namun, secara volume jumlahnya tidak mendominasi, sehingga masih bisa diantisipasi.
Ke depan, integrasi tersebut yang harus terus didorong mengingat masih ada ketergantungan industri garmen terhadap bahan baku impor, terutama dari China dan Korea Selatan.
Baca Juga
“Kami tidak bisa menaikkan ekspor, karena ketergantungan bahan baku dari China dan Korea Selatan. Begitu China krisis energi dan Korea freight cost-nya mahal, jadi tidak efisien. Mau tidak mau harus bahan baku lokal,” jelas Redma.
Dia melanjutkan, jika situasi tersebut terus didukung oleh kebijakan proteksi pasar yang kontinu, maka industri TPT akan mampu menumbuhkan ekspor secara eksponensial pada 2024–2025.
Pemerintah pun diminta untuk hati-hati membuka keran impor bahan baku agar bisa menjaga momentum tersebut.
“Importir-importir yang cari untung cepat itu suka godain pemerintah, itu yang jadi masalah. Jangan sampai pemerintah buka lagi impornya,” tutur Redma.