Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan harga eceran tertinggi atau HET pada alat tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dipatok di kisaran Rp275.000 hingga Rp300.000 memaksa pelaku usaha dari sisi hulu hingga hilir untuk menyesuaikan harga dan kualitas produk.
Manuver itu justru dikhawatirkan berdampak negatif terhadap upaya menjaga kualitas pelacakan kontak erat Covid-19 di tengah masyarakat, menyusul potensi masuknya varian baru Covid-19 B.1.1.529 atau Omicron.
Penyesuaian harga itu terlihat dari intensitas impor reagen dan alat tes usap PCR yang beralih dari Amerika Serikat dan Eropa ke China.
Peralihan impor itu disinyalir untuk menekan harga bahan baku alat tes usap PCR di tengah kebijakan HET yang ditetapkan pemerintah pada akhir Oktober 2021 lalu.
Kendati demikian, pelaku usaha menilai kualitas produk yang diimpor dari China relatif lebih rendah ketimbang barang yang dibeli dari Amerika Serikat atau Eropa.
Sekretaris Jenderal Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) Indri Wulandari mengatakan, alat tes usap PCR yang didatangkan dari China atau kawasan Asia lainnya menggunakan sistem terbuka (opened system).
Baca Juga
Artinya, antara alat tes usap dan reagennya diproduksi oleh dua pabrik yang berbeda. Misalkan, alat tes usap diproduksi di China, tetapi reagennya diproduksi di Korea Selatan.
“Bisa dipakai di reagen apapun, resikonya seringkali ekstraksi dilakukan di luar, sehingga mudah terkontaminasi karena ekstraksinya di tempat yang berbeda,” kata Wulandari melalui sambungan telepon, Minggu (5/12/2021).
Di sisi lain, dia mengatakan, produksi alat tes usap PCR dengan sistem tertutup (closed system) banyak dijumpai di Amerika Serikat dan sebagian negara Eropa. Sistem itu memungkinkan produksi reagen dan alat tes usap dilakukan di satu pabrik yang sama. Dengan demikian, kualitas alat tes usap PCR itu terjamin lantaran tidak mudah terkontaminasi.
Wulandari menuturkan, pasokan alat tes usap PCR dari Eropa dan Amerika Serikat sempat mendominasi ketika harga PCR dalam negeri masih relatif tinggi pada tahun lalu.
Hanya saja, pasokan alat tes usap PCR itu belakangan beralih ke barang-barang yang diimpor dari China dengan harga yang relatif murah untuk pasar dalam negeri.
“Opened system itu mereknya banyak sekali, terkait dengan kualitas saya belum bisa pastikan. Kami belum berani juga untuk bilang jelek ya, karena kami belum mendalami, tapi ada beberapa yang bagus, yang lainnya kami belum tahu, begitu saja,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Importir alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan Rapid Test Antigen didominasi sepenuhnya oleh kelompok perseorangan atau korporasi non-pemerintah.
Berdasarkan dokumen importasi yang diterima Bisnis hingga semester pertama 2021, kelompok korporasi non-pemerintah memegang 77,16 aktivitas impor alat kesehatan untuk penanganan Pandemi Covid-19 di Tanah Air.
Sementara itu, pemerintah hanya memegang 16,67 persen dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan penanganan Covid-19. Sisanya, 6,18 persen pengadaan barang dari luar negeri dilakukan oleh lembaga non-profit.
Hanya saja, korporasi non-pemerintah juga tidak sepenuhnya memiliki latar belakang bisnis yang concern pada urusan kesehatan masyarakat. Dokumen importasi itu menunjukkan ada perusahaan yang bergerak di bidang kecantikan, tekstil, hingga ketel uap.
Adapun alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan Rapid Test Antigen diimpor dengan nilai mencapai US$530,6 juta atau menyentuh di angka 52,2 persen dari keseluruhan pengadaan alat kesehatan yang didatangkan dari sejumlah negara pemasok.
Perinciannya, impor PCR Test menembus di angka US$340,5 juta atau sekitar 31,20 persen dari keseluruhan alat kesehatan yang dibeli dari luar negeri. Ihwal rapid test, importir dalam negeri membeli dengan nilai US$190,1 juta atau 17,42 persen.
Produk impor alat kesehatan itu kebanyakan didatangkan dari China dengan nilai transaksi mencapai US$541,3 juta atau 49,61 persen dari keseluruhan negara penjual. Selanjutnya diikuti oleh Korea Selatan dengan nilai transaksi mencapai US$150,5 juta atau 13,5 persen dari keseluruhan negara mitra.
Sementara itu, impor dari Amerika Serikat dan Jerman jika digabungkan hanya mencapai 8,3 persen dari keseluruhan negara penjual dengan total transaksi di angka US$90,5 juta.
Gabungan Perusahaan Alat-Alat Kesehatan & Laboratorium (Gakeslab) mengatakan, mayoritas alat tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) yang beredar di tengah masyarakat memiliki teknologi yang rendah.
Sekretaris Jenderal Gakeslab Randy Teguh mengatakan, hal itu terjadi lantaran rumah sakit dan laboratorium melakukan penyesuaian harga setelah kebijakan HET alat tes usap PCR yang dipatok di kisaran Rp275.000 hingga Rp300.000 akhir Oktober 2021 lalu.
“Sekarang ini reagen-reagen yang ada di laboratorium PCR itu memakai reagen manual, teknologi lama. Kualitasnya pun kami tidak tahu dengan harga-harga murah milik produsen-produsen dari China dan Asia itu yang ada sekarang,” tuturnya.