Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perizinan Impor Baru, Pelaku Usaha Khawatirkan Stabilitas Iklim Bisnis

Perbedaan regulasi mengenai impor bisa memecah pengusaha dan berdampak pada persaingan usaha.
Suasana bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Suasana bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan perdagangan terbaru mengenai impor yang tertuang dalam Permendag No. 20/2021 dinilai pelaku usaha bisa mengganggu iklim bisnis di dalam negeri. Pasalnya, ketentuan perizinan yang baru tersebut meniadakan sejumlah syarat teknis.

Ketua II Pelaku Usaha Bawang Putih dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) Valentino mengatakan beleid tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dalam dokumen yang diajukan dalam penerbitan persetujuan impor (PI).

Dia mengatakan ketentuan ini berbeda dengan regulasi di Kementerian Pertanian yang memberi syarat bahwa importir bawang putih harus mengantongi RIPH untuk bisa melakukan pemasukan.

“Masih ada dualisme regulasi dalam impor bawang putih. Di Kementan masih ada syarat RIPH, sementara di Permendag No. 20/2021 ada 4 syarat untuk impor bawang putih, tetapi tidak ada RIPH,” kata Valentino, Kamis (2/12/2012).

Lampiran dalam Permendag No. 20/2021 menyebutkan syarat penerbitan PI untuk bawang putih mencakup data, surat keterangan mengenai kemampuan penyimpanan dan kelayakan tempat penyimpanan dan transportasi, bukti penguasaan alat transportasi, dan bukti penguasaan atas gudang berpendingin.

Valentino mengatakan perbedaan regulasi mengenai impor bisa memecah pengusaha bawang putih dan berdampak pada persaingan usaha. Perusahaan yang mengantongi PI sesuai regulasi Kemendag bisa menjual bawang putih lebih murah lantaran tidak harus melakukan kewajiban wajib tanam.

Di sisi lain, perusahaan yang mengupayakan RIPH akan mengeluarkan biaya lebih besar karena melakukan wajib tanam.

“Bisa timbul persaingan yang tidak sehat. Satu bisa menjual harga lebih rendah daripada yang lainnya,” kata dia.

Perizinan yang belum jelas, katanya, juga berisiko mengganggu proses pengapalan. Valentino mengatakan importir masih berjibaku dengan kendala logistik global yang berlanjut.

“Kami juga mengejar stok awal tahun, apalagi pada awal tahun dekat dengan Imlek dan Ramadan Idulfitri,” katanya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta mengatakan penerbitan PI yang tidak terkontrol, tanpa disertai rekomendasi teknis kementerian terkait bisa berdampak buruk.

“Pengendalian impor sangat penting bagi kami di sektor tekstil dari hulu ke hilir, agar pasar dalam negeri menjadi jaminan pasar bagi produk dalam negeri dalam rangka pemulihan,” katanya.

Dia mengatakan aktivitas impor saat ini cenderung masih tertahan karena China masih menghadapi krisis energi dan biaya pengapalan yang relatif masih tinggi. Saat situasi mulai pulih, Redma mengatakan pengendalian impor akan tergantung pada Permendag No. 20/2021.

“Memang untuk rekomendasi teknis tidak menjadi syarat. Namun di regulasi ada ketentuan mengenai verifikasi,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper