Bisnis.com, JAKARTA — Permintaan batu bara diperkirakan masih naik meski muncul tekanan terhadap transisi energi di seluruh dunia.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) masih menyimpan optimisme pada peningkatan permintaan batu bara. Pertumbuhan ini terjadi, baik pada sisi ekspor maupun domestik.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan bahwa sekitar 75 persen dari total produksi dalam negeri diperuntukan bagi pasar ekspor. Sisanya 25 persen untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Sekitar 98 persen dari total ekspor dikirim ke negara Asia Pasifik. Dari jumlah ini sekitar 63 persen batu bara Indonesia diekspor ke China dan India.
“Kami melihat perkembangan China dan India masih membutuhkan batu bara. Jadi kurang lebih 63 persen batu bara kita masih dibutuhkan,” katanya kepada Bisnis, Kamis (2/12/2021).
Dia menjelaskan bahwa kenaikan permintaan diyakini dengan proyeksi perkembangan industri secara masif mulai tahun depan. Kondisi ini nantinya akan meningkatkan volume konsumsi listrik. Di sisi lain, batu bara akan terus meningkat.
Adapun China telah mendeklarasikan diri untuk mencapai net zero emission (NZE) atau netral karbon pada 2060. India telah membidik periode yang lebih lama, yakni 2070. Oleh sebab itu, permintaan komoditas ini masih akan bertahan beberapa dekade.
“Jadi rasanya kalau melihat kebijakan mereka kita masih punya kesempatan 3–4 dekade ke depan,” katanya.
Meski begitu, perusahaan tambang bersiap menghadapi adanya kebijakan pengurangan permintaan dari sejumlah negara Asia Timur. Salah satunya Jepang dan Taiwan. Kebutuhan emas hitam di kawasan ini diperkirakan bakal meredup dalam satu dekade ke depan.
“Tapi tetap masih butuh sekitar satu dekade ke depan, seperti Jepang, Taiwan,” tuturnya.