Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tarif Listrik Naik karena Pajak Karbon, Ini Usulan Pengusaha

Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengatakan agar dampak pajak karbon tidak terlalu membebani industri, penerapannya perlu diatur melalui skema batasan atau caping secara bertahap.
Ilustrasi industri berbahan baku benang./Bloomberg-David Paul Morris
Ilustrasi industri berbahan baku benang./Bloomberg-David Paul Morris

Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) menjadi tak terhindarkan seiring rencana pemberlakuan pajak karbon pada tahun depan yang pertama kali menyasar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Namun, pemerintah belum memiliki peta jalan dan pedoman teknis pemberlakuan pajak karbon.

Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengatakan agar dampak kebijakan ini tak terlalu membebani industri, penerapan pajak karbon melalui skema batasan atau caping harus bertahap.

Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengusulkan pada tahap awal, batasan atau cap tersebut perlu disesuaikan dengan kemampuan PLN dalam memangkas emisi karbonnya.

"PLN punya rencana untuk beralih ke EBT [energi baru terbarukan], itu butuh waktu. Sebaiknya [kemampuan] PLN jadi patokan, PLN bisa turunkan berapa, industri akan ikut cap itu. Kalau sekarang cap-nya masih di bawah, PLN akan kena pajak karbon, itu akan jadi beban kami," kata Redma saat dihubungi, Senin (29/11/2021).  

Redma mengatakan di internal pemerintah sendiri, belum ada penjelasan yang terang benderang mengenai kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik akibat dari pemberlakuan pajak karbon.

Pangkalnya, batas atas emisi karbon belum juga ditentukan oleh pemerintah, meski tarifnya telah ditetapkan Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Menurutnya perlu kehati-hatian dalam menetapkan kebijakan ini mengingat dampaknya yang berganda bukan hanya dari sisi penawaran di industri tetapi juga permintaan di masyarakat.

"Inflasi akan double, dari PLN [ke konsumen] iya, dari manufaktur juga nge-pass ke konsumen juga. Jadi inflasi ini akan ada tekanan," ujar Redma.

Tekanan berlapis tersebut menurutnya juga akan berdampak pada penurunan utilisasi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) hingga 10 persen. Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, rata-rata utilisasi industri tekstil sepanjang tahun ini mencapai 72,31 persen. Adapun untuk industri pakaian jadi utilisasinya rata-rata sebesar 84,83 persen.

"Otomatis utilisasi akan turun lagi. Saya kira kalau di [industri] lokal bisa sampai turun 5-10 persen," kata Redma.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper