Bisnis.com, JAKARTA – Siapa yang pernah menyangka kabin mewah pesawat yang dimiliki sebuah maskapai penerbangan papan atas skala global akhirnya harus diubah menjadi restoran premium.
Pesawat itu tidak bisa dioperasikan melayani penerbangan internasional akibat dampak lanjutan pandemi di dunia. Strategi baru dan bahkan model bisnis yang sama sekali tak terpikirkan sebelumnya harus diracik untuk menyambung hidup perusahaan dan nasib para karyawannya.
Ya, ini sebuah revolusi. Bisa juga dikatakan disrupsi jilid kedua atau bahkan gabungan keduanya. Rasanya baru kemarin dunia diguncang oleh disrupsi yang membuat kita terkaget-kaget untuk beradaptasi.
Malah belum semua orang sempat mengenakan ‘sabuk pengaman’ untuk melewati turbulensi itu.
Masih di lorong turbulensi itu, yang entah kapan atau di mana akan berujung, kini ada goncangan baru yang tak kalah hebat. New normal. Kenormalan baru. Begitu banyak orang menyebutnya.
Apa dan bagaimananya new normal ini belum terlalu jelas. Yang pasti fenomena yang muncul saat ini merupakan hasil atau dampak dari ‘revolusi Covid-19’ di seluruh dunia.
Disrupsi pertama bisa jadi lebih banyak didorong oleh perkembangan dan aplikasi teknologi digital dan internet yang begitu masif.
Sebaliknya disrupsi kali ini dihentak oleh pandemi global dengan segala dampak ikutannya yang begitu dalam terhadap sendi-sendi ekonomi, bisnis, dan kehidupan.
Kita sering mendengar istilah ‘tidak semudah membalikan telapak tangan’ untuk menggambarkan hal baru yang ingin diraih tetapi ternyata begitu sulit direalisasikan.
Namun pagebluk kali ini berhasil dengan mudahnya ‘memutarbalikan siang dan malam’. Artinya, dunia yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya perlahan terwujud.
Bila dicermati lebih jauh, keduanya mengandung kesamaan pula, yaitu efisiensi besar-besaran! Kondisi ini mengingatkan kita pada konsep ‘penghancuran kreatif’ (creative destruction).
Ekonom Joseph Schumpeter memperkenalkan frasa ini dalam bukunya, Capitalism, Socialism, and Democracy (1942) ketika dunia ambyar akibat kobaran Perang Dunia II.
Hal ini untuk menerangkan sebuah proses ketika gagasan dan material yang sudah atau menjelang mati menjadi ‘pupuk’ untuk gagasan-gagasan atau material yang baru. Alhasil, itu memberi perekonomian (kapitalisme) sebuah dinamika yang mampu mengalami regenerasi diri.
Sewaktu industri-industri menjadi usang dan mati, para pekerja, aset, dan gagasan yang pernah menopang mereka dibebaskan untuk bergabung kembali ke dalam bentuk-bentuk baru guna menghasilkan barang-barang, jasa-jasa, dan gagasan-gagasan yang memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen yang telah berubah.
“Proses ini mendukung sebuah ekosistem ekonomi yang terus berkembang. Ia bukan produk keinginan politik yang datang begitu saja,” tulis Ian Bremmer dalam The End of The Free Market. Who Wins the War Between States and Corporations? (2010).
‘Penghancuran kreatif’, menurut Bremmer, mendalilkan bahwa industri-industri pembuat barang-barang yang tidak diinginkan lagi akhirnya akan gulung tikar.
Hal itu berarti hilangnya pekerjaan dan hilangnya upah, jenis persoalan yang dapat membuat orang-orang yang putus asa berunjuk rasa ke jalan-jalan menuntut pemerintah.
Meskipun bisa jadi benar tetapi pemikiran Schumpeter bisa jadi tidak bisa serta merta menggambarkan kondisi di Tanah Air dewasa ini? Namun ‘Sang Penghancur’ benar adanya. Ada di depan mata kita: Covid-19.
Persoalannya, kita memang hancur, harus hancur lebih dulu atau (dipaksa) bermetamorfosis menjadi elemen yang sama sekali baru supaya tetap relevan dengan keinginan konsumen di era new normal?
Opsi terakhir tampaknya menjadi sebuah tantangan paling keras untuk dijawab dalam satu dekade belakangan ini. Lalu, bagaimana korporasi harus menyikapinya?