Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menegaskan sistem pengupahan yang diamanatkan UU Nomor Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 ihwal penentuan upah minimum mendorong kepastian hukum bagi investor.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Indah Anggoro Putri mengatakan sistem pengupahan di Indonesia masih dianggap sebagai salah satu kendala investor untuk berinvestasi.
Menurut Putri, investor menuntut kepastian dalam pengupahan yang sudah disediakan di dalam UU Cipta Kerja dan turunannya.
"Upah Minimum merupakan jaring pengaman, namun demikian kita membutuhkan upah yang berbasis kinerja yang akan menaikkan produktivitas, sehingga baik pengusaha maupun pekerja atau buruh sama-sama mendapatkan manfaat dan kenaikan produktivitas perusahaan," kata Putri melalui siaran pers, Jumat (26/11/2021).
Putri mengatakan pengupahan yang adil dan berdaya saing ditujukan untuk menciptakan sistem pengupahan yang sehat bagi dunia usaha dan industri dengan memperhitungkan kendala dan tantangan di era revolusi 4.0 dan bonus demografi.
Sistem pengupahan yang sehat, kata dia, bersifat adil antar wilayah, antar pekerja dalam suatu unit usaha dan antara pekerja dengan pengusaha.
Baca Juga
"Dengan keadilan upah maka akan tercipta kondusifitas hubungan industrial. Kondusifitas hubungan industrial akan menciptakan produktivitas. Dengan produktivitas yang tinggi maka dunia usaha akan mampu bersaing di dunia internasional," kata dia.
Di sisi lain, dia menambahkan sistem pengupahan berdaya saing mesti fleksibel sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, adaptif sesuai tantangan zaman, dan sederhana untuk diimplementasikan.
"Karena dengan meningkatkan implementasi pengupahan berbasis produktivitas, akan berdampak pada peningkatan penghasilan pekerja atau buruh, sehingga meningkat pula kesejahteraan," tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan pembentukan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Regulasi ini juga dikatakan MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan".
MK juga menyatakan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan.
"Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 [dua] tahun sejak putusan ini diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen," tutur Ketua MK Anwar Usman dalam pembacaan amar putusan, Kamis (25/11/2021).
Selanjutnya, amar putusan menyatakan apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan undang-undang, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja, harus dinyatakan berlaku kembali.
Amar putusan uji formil dan materiil juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.