Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja ekspor Indonesia melanjutkan tren kenaikan bulanan dan tahunan pada Oktober 2021. Total ekspor Oktober 2021 yang mencapai US$22,03 miliar, bahkan menjadi ekspor bulanan tertinggi sepanjang sejarah.
Ekspor yang naik 6,89 persen m-to-m dan 53,35 persen y-o-y disumbang oleh signifikannya kenaikan ekspor batu bara dan minyak sawit dibandingkan dengan September 2021.
Nilai ekspor batu bara bertambah US$823,3 juta dan minyak nabati naik US$538,9 juta. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kenaikan ekspor ini turut dipengaruhi harga komoditas yang naik, diantaranya batu bara yang naik 27,58 persen m-to-m.
Sementara itu, total impor tercatat naik 51,06 persen y-o-y menjadi US$16,29 miliar. Kenaikan didorong oleh meningkatnya impor migas sebesar 75,94 persen y-o-y dan impor nonmigas naik 48,29 persen y-o-y.
Dari segi komponen, impor bahan baku/penolong tumbuh 55,82 y-o-y dan impor barang modal naik 51,06 y-o-y. Sementara impor konsumsi meningkat 53,45 persen y-o-y.
Ekspor yang naik lebih tinggi daripada impor menempatkan neraca perdagangan Indonesia surplus US$5,73 miliar. Surplus ini melampaui rekor yang sebelumnya dipecahkan pada Agustus 2021 sebesar US$4,75 miliar. Secara kumulatif, surplus melampaui US$30,81 miliar per sampai Oktober 2021.
Baca Juga
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan ekspor Indonesia memiliki tendensi stabil tinggi sampai tahun depan, didorong oleh harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Dia mengatakan pasokan kedelai dari negara produsen utama tetap ketat jika mengacu pada prediksi awal. Hal ini akan mengakibatkan harga minyak kedelai belum akan turun dalam beberapa waktu mendatang.
“Kalau data permulaan panen kedelai, di Amerika Selatan kemungkinan tahun depan itu produksi masih kurang bagus. Jadi dari segi harga akan melanjutkan tren harga tinggi. Kedelai yang memimpin [harga]. Kalau harganya naik, minyak sawit tidak mungkin turun. Jadi bisa berlanjut,” kata Lutfi kepada Bisnis, Senin (15/11/2021).
Namun dia menyampaikan pula sejumlah faktor yang berisiko menghentikan tren positif harga komoditas. Diantaranya adalah krisis energi, berkurangnya stimulus dari pemerintah berbagai negara, dan gangguan suplai barang imbas dari masalah logistik global yang belum terurau.
“Jika harga tinggi produk tinggi, permintaan tinggi, tetapi suplai tidak ada, tatanan bisa terganggu. Tiga hal ini menurut saya bisa menganggu. Ini yang kita jaga jangan sampai terjadi dan memengaruhi Indonesia,” tambahnya.
Mengantisipasi normalisasi harga komoditas ekspor, Lutfi meyakini bahwa struktur ekspor Indonesia telah siap dan jauh lebih baik. Dia menjelaskan soal transformasi Indonesia dari eksportir barang mentah dan setengah jadi menjadi barang industri serta berteknologi tinggi.
Hal ini setidaknya terlihat dari nilai ekspor kumulatif besi dan baja yang mencapai US$14,33 miliar dalam kurun Januari sampai September 2021 atau naik 96,20 persen.
Dia mengatakan peningkatan ekspor besi dan baja bisa menutup defisit perdagangan migas. Sampai Oktober 2021, Indonesia mengimpor sekitar US$19,13 miliar komoditas dalam kelompok migas.
“Kita perlu lihat bahwa Indonesia sudah memperbaiki struktur ekspor. Misalnya ekspor besi dan baja yang nilainya saat ini sudah melampaui defisit migas yang pernah menyentuh US$12 miliar. Secara struktur kendala dari neraca perdagangan sebenarnya sudah beres,” kata Lutfi.
Sementara itu, Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani meyakini bahwa pemerintah telah menyadari bahwa surplus yang dinikmati Indonesia saat ini bersifat sementara dan perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk percepatan pemulihan ekonomi.
“Saya rasa pemerintah juga sudah paham bahwa menggantungkan kinerja ekspor dari batu bara dan CPO tidak akan sustainable untuk stabilitas atau pertumbuhan penerimaan ekspor kita pada masa mendatang,” katanya.