Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) memprediksi harga minyak goreng mengalami kenaikan hingga paruh pertama tahun depan. Proyeksi itu diambil berdasarkan pada tren kenaikan harga minyak sawit (crude palm oil/CPO) hingga saat itu.
Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kemendag Isy Karim menerangkan harga minyak goreng itu bakal tetap mengalami kenaikan selama harga CPO sebagai bahan baku terkerek naik di pasar global. Malahan, harga minyak goreng itu diprediksi tidak lantas normal kendati harga CPO dunia berangsur turun.
“Meski harga internasional turun, dampak penurunan harga terhadap harga minyak goreng di dalam negeri belum dapat menyamai harga minyak goreng di bulan sebelumnya,” kata Isy Karim kepada Bisnis.com, Rabu (27/10/2021).
Selain kenaikan harga CPO global yang mencapai US$1,400 per MT, Isy Karim menambahkan, melonjaknya harga minyak goreng juga disebabkan karena dampak dari penerapan program B 30. Di sisi lain, terdapat penurunan panen sawit mencapai 10 persen pada target produksi semester dua tahun ini.
“Pasokan bahan baku menjadi terbatas dan terbagi antara industri minyak goreng dan biodiesel,” kata dia.
Kenaikan harga minyak goreng itu bakal memberi dampak langsung pada inflasi nasional. Rilis BPS menunjukkan selama tahun ini, minyak goreng memberi andil inflasi sebesar 0,10 persen. Selama bulan Agustus dan September 2021, minyak goreng berturut-turut memberi andil inflasi masing-masing sebesar 0,02 persen.
Baca Juga
“Kami akan mengupayakan komunikasi dengan asosiasi pelaku usaha kelapa sawit agar tetap menjaga pasokan bahan baku CPO untuk industri minyak goreng. Diharapkan harga minyak goreng di dalam negeri dapat segera kembali turun,” kata dia.
Berdasarkan data dari sejumlah asosiasi perkelapasawitan, total produksi CPO pada tahun lalu mencapai 51,58 juta ton. Sebanyak 34 juta ton (66 persen) diekspor dan 17,34 juta ton (34 persen) terserap di dalam negeri.
Dari volume yang diekspor, pengapalan dalam bentuk CPO dan crude palm kernel oil (CPKO) sejumlah 9 juta ton (26,47 persen), sedangkan produk olahan dan makanan sebesar 21,10 juta ton (62,05 persen) serta oleokimia sebesar 3,87 juta ton (11,38 persen).