Bisnis.com, JAKARTA - Impor barang China dari AS hanya mencapai 53 persen dari target senilai US$200 miliar, jauh lebih rendah dari kesepakatan perdagangan yang ditandatangani tahun lalu.
Berdasarkan catatan Bloomberg pada 21 Oktober, Beijing mengimpor US$11,7 miliar barang manufaktur, agrikultur, dan energi dari AS pada September.
Pemerintahan Biden mengatakan ingin menegakkan komitmen yang dibuat China dalam kesepakatan perdagangan, tetapi kedua belah pihak masih berseberangan terhadap masalah ekonomi dan perdagangan.
Sebelumnya, Beijing menginginkan Amerika Serikat tidak lagi mempersulit perusahaan China yang berinvestasi dan terdaftar di AS. Dalam sebuah wawancara kepada Phoenix TV, Duta Besar China untuk AS Qin Gang mengatakan terdapat pembatasan terhadap 900 entitas China.
Dalam hal tertentu, pembatasan terhadap keamanan nasional dianggap tidak adil sehingga China mengeluarkan peringatan bahwa ada konsekuensi jika AS terus melanjutkan sikapnya.
Seperti diketahui, AS masih menerapkan pembatasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan China. AS juga belum lama ini menangguhkan penawaran umum perdana baru perusahaan yang berbasis di China dan menuntut mereka tunduk pada pengawasan, bahkan terancam delisting.
Baca Juga
Dalam perjanjian perdagangan pada tahun lalu, kedua pihak masih berseberangan. Kesepakatan itu menyerukan Beijing untuk membuat perubahan pada peraturan tentang kekayaan intelektual dan menargetkan pembelian barang-barang AS oleh China. Perhitungan Bloomberg menunjukkan bahwa China hanya membeli setengah dari barang yang dijanjikan untuk dibeli sejauh ini.
Qin menolak tuduhan bahwa China telah gagal mematuhi perjanjian tersebut dengan alasan bahwa negara tersebut telah membuat langkah-langkah nyata dan dengan tulus dan mantap menerapkan kesepakatan tersebut.
Amerika Serikat dan China membuat sebuah kemajuan dalam hubungan perdagangan mereka setelah Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Menteri Keuangan AS Janet Yellen melakukan panggilan telepon.
Dilansir Bloomberg pada Selasa (26/10/2021), China menyatakan bahwa panggilan telepon tersebut berlangsung secara pragmatis, jujur, dan konstruktif. Keduanya sepakat akan memperkuat komunikasi dan koordinasi terkait dengan kebijakan ekonomi makro seiring dengan pentingnya pemulihan.
Kendati masih ada ketegangan, terdapat kemajuan dalam hal hubungan dua negara belakangan ini yang juga diikuti dengan pembebasan eksekutif Huawei untuk menghilangkan salah satu sumber gesekan kedua negara.