Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

CORE Sebut Dunia Usaha akan Alami Dilema Akibat Kebijakan PPN dan Pajak Karbon

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa ada peluang beberapa lapangan usaha akan menemui dilema dari kenaikan tarif PPN.
Ilustrasi pajak
Ilustrasi pajak

Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah peraturan perpajakan yang diterbitkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dinilai akan menimbulkan dilema bagi dunia usaha. Khususnya pada peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak karbon.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa ada peluang beberapa lapangan usaha akan menemui dilema dari kenaikan tarif PPN. Adapun, pemerintah akan menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen mulai 1 April 2022, dan menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.

"Dilemanya lebih kepada jika tarif PPN [naik] maka mereka perlu menyesuaikan perhitungan dari Harga Pokok Produksi. Jika PPN meningkat di saat yang bersamaan harga bahan baku juga ikut meningkat maka, pilihan bagi mereka adalah antara menaikan harga atau memangkas margin keuntungan," terang Yusuf kepada Bisnis, Jumat (22/10/2021).

Menurut Yusuf, dilema terjadi apabila menaikkan harga industri makanan dan minuman itu relatif sensitif terhadap perubahan harga. Hal itu artinya terdapat potensi penurunan permintaan jika harga dinaikan.

Selain itu, jika suatu usahanya memiliki skala yang besar, tentu ada pilihan untuk memangkas margin keuntungan. Namun, perusahaan yang lebih kecil memiliki pilihan yang lebih sedikit.

"[Usaha kecil] bisa saja mengambil opsi untuk menaikkan harga tapi dengan risiko permintaan turun, apalagi jika kita berasumsi daya beli masyarakat belum kembali setidaknya seperti sebelum terjadinya pandemi," jelas Yusuf.

Di sisi pajak karbon, Yusuf menyebut pajak tersebut bisa dikenakan pada bahan bakar utama yang memiliki karbon tinggi seperti batubara, solar dan bensin. Sementara untuk pengenaan emisi umumnya dikenakan kepada industri pulp and paper, industri semen, pembangkit listrik dan juga petrokimia.

Sayangnya, beberapa bahan bakar utama dan industri tersebut merupakan bahan bakar yang masih umum digunakan di Indonesia. Salah satu bahan bakar tersebut pun merupakan industri yang juga merupakan salah satu industri terbesar di Indonesia.

Sehingga akhirnya, Yusuf menilai sektor-sektor ini yang kemudian akan terdampak relatif lebih besar dengan rencana penerapan pajak karbon dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

Hal ini, tambah Yusuf, tidak akan mudah. Mau tidak mau, sektor-sektor penghasil emisi harus melakukan peralihan untuk mendorong kegiatan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Apalagi batu bara, yang memiliki kadar emisi cukup tinggi. Di sisi lain, batu bara merupakan salah satu komoditas eskpor utama Indonesia.

"Studi dari Princeton University menenmukan justru komposisi synthetic natural gas justru berpotensi meghasilkan gas karbon yang lebih besar dari membakar langsung batu bara misalnya," ujarnya.

Yusuf lalu mengatakan Indonesia perlu melihat pengalaman dari penerapan pajak karbon di Australia, yang menunjukkan adanya dampak peralihan atau transisi ke meningkatnya pengangguran di sektor tambang dan meningkatnya biaya listrik.

"Tentu ini konsekuensi yang perlu dimitigasi dari pelaku usaha dan juga pemerintah dari rencana kenaikan pajak karbon," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper