Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah perlu menerbitkan cetak biru terkait coal processing plant untuk mengantisipasi potensi penurunan harga batu bara di masa mendatang.
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengingatkan, potensi turunnya harga batu bara masih tetap terbuka, meski harga komoditas itu sedang tumbuh di pasar global.
Antisipasi kian diperlukan dengan kondisi keberadaan ribuan izin usaha pertambangan (IUP) yang terus menjamur di daerah. Bila harga turun, bukan tidak mungkin produsen bakal meninggalkan tambang tanpa direklamasi.
“Maka lebih baik untuk mengantisipasi harga batu bara, pemerintah segera membuat blueprint atau cetak biru terkait dengan coal processing plant [CPP]. Terkait juga dengan coal blending atau pencampuran batu bara,” katanya kepada Bisnis, Minggu (10/10/2021).
Menurutnya, proses pembuatan blue print tersebut mesti dibangun pemerintah. Adapun, proses pembangunannya masih dapat dibahas ke depan apakah melalui pemerintah, swasta, atau malah PLN.
“Bahwa kacamata membangun strategi cetak biru itu harus dimulai dari pemerintah, sehingga begitu harga turun, [kalori] rendah tetap diakomodir dengan dicampur dengan [kalori] tinggi,” terangnya.
Baca Juga
Optimalisasi pemanfaatan batu bara dengan ragam kalori tersebut diharapkan dapat mencegah batu bara terbuang atau tidak laku di pasar, baik untuk domestik maupun internasional.
“Sehingga kebutuhan dalam negeri jadi lebar dari spesifik 4.600 kcal/kg GAR atau kalori menengah, akhirnya kalori rendah sekali dapat terpakai, kalori tinggi dapat terpakai,” ujarnya.
Memanasnya harga batu bara saat ini menjadi momentum bagi perusahaan tambang untuk mendapatkan profit lebih. Sekaligus memberi dampak pada peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga royalti.
Di sisi lain, potensi penurunan harga harus dihadapi dengan matang. Secara langsung, penurunan harga bisa menjatuhkan pemilik IUP skala kecil di daerah.
“Begitu harga turun sekali, otomatis tambang yang sudah tidak ekonomis akan ditinggal. Kalau ditinggal terdapat sejumlah masalah. Pertama, masalah lingkungan rusak karena dia meninggalkan reklamasi yang tidak berjalan dengan baik. Kedua, PAD [pendapatan asli daerah] daerah terganggu. Ketiga, bisa jadi NPL [nonperforming loan] kalau dia mendapatkan pinjaman dari bank,” ujarnya.