Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan harga jual batu bara di pasar internasional menjadi momentum untuk pemerintah dalam rangka meningkatkan royalti ekspor dari komoditas tersebut.
“Pemerintah harus segera menerbitkan PP [Peraturan Pemerintah] Minerba yang sudah lama ditunggu-tunggu, terutama terkait dengan besaran royalti batu bara. Jangan sampai PP ini terlambat terbit dan kehilangan momentum,” kata anggota Komisi VII DPR Mulyanto melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (9/10/2021).
Dia menuturkan, pemerintah harus menaikkan royalti ekspor di tengah kenaikan harga batu bara saat ini. Meski begitu, dia juga meminta, royalti batu bara untuk kebutuhan domestik yang digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik PLN maupun hilirisasi jangan dinaikkan.
Mulyanto berpendapat bahwa usulan tersebut menjadi hal penting mengingat kondisi keuangan negara yang tertekan utang untuk pembiayaan untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19.
“Dengan peluang tingginya harga batu bara internasional, semestinya negara dapat mengambil manfaat lebih untuk pembiayaan pembangunan. Jangan hanya pengusaha yang happy,” paparnya.
Mulyanto melanjutkan, dalam kondisi seperti ini pengusaha batu bara wajib berbagi kebahagiaan dengan meringankan beban masyarakat melalui kenaikan besaran royalti batu bara.
Baca Juga
Dipaparkan, harga batu bara pada 2021 meroket dari awalnya US$80 per ton menjadi US$300 per ton, dan diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan naiknya permintaan sebagai efek rebound permintaan energi pascapandemi Covid-19 yang menimbulkan krisis energi di sejumlah negara.
Selain itu, disebutkan bahwa kontribusi komoditas batu bara terhadap penerimaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai 80 persen dari total penerimaan sektor minerba, sehingga batu bara menjadi komoditas yang diandalkan.
Kemudian, untuk mengoptimalkan penerimaan negara seiring dengan meroketnya harga batu bara internasional, pemerintah telah meningkatkan kuota produksi pada 2021 dari 550 menjadi 625 juta ton.
Namun, besarnya royalti masih tetap sebesar 13.5 persen untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) eks-PKP2B generasi 1, 2 dan 3. Sementara itu, untuk pemegang IUP bervariasi maksimum hanya 7 persen.
Sebelumnya, pengamat Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tumiran berharap kenaikan harga batu bara tak mengganggu pasokan ke pembangkit listrik dalam negeri milik PT PLN (Persero).
“Pengusaha jangan hanya bicara untung, tetapi juga memastikan ketahanan pasokan batu bara Tanah Air. Harusnya ada pemahaman bersama untuk kepentingan dalam negeri,” ujarnya.
Saat ini lonjakan harga batu bara dunia mencapai US$200 per ton, sehingga menimbulkan kekhawatiran banyak pihak terkait stabilitas listrik dalam negeri.
Tumiran menjelaskan, lonjakan harga batu bara terjadi akibat adanya peningkatan pasokan komoditas. Terlebih beberapa negara, seperti China sempat susah payah menyeimbangkan pasokan listrik dengan permintaan seiring pulihnya perekonomian pascapandemi.