Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Polemik Harga Pangan, Permendag 07/2020 Bikin Rugi Petani

Aturan empat harga yang ditetapkan dalam Permendag itu justru menimbulkan perdebatan tak berujung di antara produsen dan konsumen. Biasanya, pada akhirnya hal tersebut merugikan petani atau produsen.
Pekerja mengeringkan jagung yang baru dipipil di Desa Balongga, Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (6/9/2021). /Antara Foto-Basri Marzuki
Pekerja mengeringkan jagung yang baru dipipil di Desa Balongga, Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (6/9/2021). /Antara Foto-Basri Marzuki

Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pengusaha meminta pemerintah untuk merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 07 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Alasannya, aturan itu dinilai tidak mampu memberi kestabilan harga ketika terjadinya kelangkaan stok pangan strategis di tengah masyarakat.

Direktur PT Datu Nusra Agrobisnis (DNA) Dean Novel mengusulkan pemerintah dapat menerapkan kebijakan harga tunggal untuk memutus gejolak harga di antara produsen dan konsumen ketika sejumlah komoditas mengalami kelangkaan.

“Perhitungan harga itu harus adil jangan melulu konsumen tetapi harus mempertimbangkan petani dan tata niaganya, meski populasi konsumen lebih banyak ketimbang petani” kata Dean saat dialog agribisnis, Rabu (6/10/2021).

Konsekuensinya, Dean menambahkan, pemerintah atau badan usaha milik negara (BUMN) mesti membeli dengan harga acuan itu ketika terjadi gejolak harga di pasar.

Menurut dia aturan empat harga yang ditetapkan dalam Permendag itu justru menimbulkan perdebatan tak berujung di antara produsen dan konsumen. Biasanya, perdebatan itu selalu merugikan petani atau produsen.

Misalkan ihwal harga jagung, dia mencontohkan, harga batas bawah yang diamanatkan Permendag itu sebesar Rp2.500 dengan kadar air 35 persen. Sementara itu harga batas atas mencapai Rp3.150, malahan nilainya bisa mencapai Rp4.500 di gudang pembeli dengan kadar air 14 hingga 15 persen.

“Konversi dari 35 persen ke 14 persen saja dengan acuan Rp2.500 harga jagung sebesar Rp4.160 itu baru konversi jagung belum biaya produksi, kalau 4 harga ini masih dipertahankan polemiknya akan panjang, jadi satu harga saja,” kata dia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengakui kementeriannya kesulitan untuk menstabilkan harga ketika komoditas strategis mengalami kelangkaan pasokan di tengah masyarakat.

Oke beralasan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 07 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen tidak dilengkapi dengan instrumen cadangan pangan pemerintah.

“Instrumen yang ada baru cadangan beras pemerintah, untuk jagung tidak ada cadangan jagung pemerintah sehingga saat dibutuhkan Permendag ini menjadi mandul saat diputuskan oleh berbagai asosiasi harga jagung untuk peternak dan layer itu Rp4.500 ketika harga sudah Rp6.200,” kata Oke saat dialog agribisnis, Rabu (6/10/2021).

Oke menggarisbawahi kementeriannya kesulitan untuk melakukan stabilisasi harga pada jagung beberapa waktu terakhir lantaran pemerintah tidak memiliki cadangan jagung yang dapat dikeluarkan ketika terjadinya kelangkaan.

Di sisi lain, Oke mengatakan, klaim surplus jagung hingga 2,3 juta ton milik Kementerian Pertanian tidak dapat digunakan untuk stabilisasi harga lantaran angka itu masuk dalam kategori cadangan nasional. Artinya, cadangan nasional itu spesifik menggambarkan potensi ketersediaan jagung di setiap perkebunan secara makro. Dengan demikian, cadangan jagung nasional itu tidak tersedia ketika dibutuhkan segera.

“Pemerintah tidak bisa apa-apa karena tidak punya jagungnya, yang dibahas bukan jagung cadangan pemerintah tetapi yang tersedia itu cadangan jagung nasional. Cadangan jagung pemerintah dimiiliki untuk intervensi harga,” kata dia.

Dengan demikian, Oke menegaskan, kementeriannya mengalami kendala untuk mengambil kebijakan stabilisasi harga seperti yang diamanatkan Permendag Nomor 07 Tahun 2020 tersebut. Kerangka aturan itu terkendala minimnya instrumen untuk memasok kelangkaan pangan strategis di tengah pasar.

“Yang agak lengkap untuk instrumennya ini baru di beras, sementara harga acuan atas duduk bersama asosiasi dibutuhkan di berbagai komoditas ada daging, jagung, telur, ayam dan yang lainnya ini kelengkapan instrumennya tidak sempurna,” kata dia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper