Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah pekerjaan rumah di sektor logistik masih memerlukan pembenahan usai merger Pelindo diresmikan pada Jumat (1/10/2021).
Pakar Maritim Saut Gurning mengatakan dari sejumlah best practice dan kondisi normal, ekspektasi biaya logistik adalah di bawah 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) secara agregat. Menurutnya, saat ini untuk mencapai target penurunan yang dikehendaki dari proses merger akan bergantung dari perubahan proses bisnis.
Khususnya pada besaran biaya di jejaring hinterland domestik yang masih besar karena terkait dengan kualitas aksesibilitas, moda transportasi darat kita yang masih unimoda belum multimoda dan dorongan simplikasi perijinan, administrasi, pemesanan, proses jasa dan pembayaran.
"Saya kira jika bisa dilakukan secara kolektif, kolaborasi antar pelaku logistik maritim, didukung kebijakan pemerintah maka dalam keadaan normal pasca pamdemi target penurunan biaya logistik dalam 2-3 tahun mungkin dapat dicapai," ujarnya, Jumat (1/10/2021).
Saut memerinci PR paling mendesak untuk segera dilakukan perbaikan adalah untuk tidak merubah kinerja eksis yang diberikan ke pengguna jasa. Bahkan kalau perlu lebih baik dari sebelumnya atau secara terintegrasi ada harmonisasi kinerja dan lebih meningkat.
Kedua, lanjutnya, menyeragamkan semua proses bisnis, SOP, kinerja, peralatan, fasilitas kompetensi SDM, daya dukung sistem informasi. Hal ini tentu tidak mudah, karena membutuhkan proses adaptasi dan manajemen perubahan yang lebih cepat.
Baca Juga
Kemudian agar Pelindo mulai terlibat (enggage) pada pasar atau orientasi luar negeri. Sebab ada potensi besar untuk pergerakan di luar negeri. Baik untuk kontainer, non-kontainer, logistik dan marine serta pendukung lainnya.
Waktu yang dibutuhkan untuk merampungkan merger agar berjalan mulus akan bergantung kepada tujuan yang disasar. Jika pertimbangannya adalah pembangunan fasilitas atau infrastruktur serta suprastruktur mungkin diperlukan minimal 2-3 tahun dengan adanya gap yang cukup tinggi.
Sementara jika melihat dari faktor non-infrastruktur/suprastruktur seperti Sumber Daya Manusia (SDM) dan proses bisnis SOP kemungkinannya justru bisa kurang dari 2 tahun sudah mulai stabil.
Terkait dengan dampak langsung yang diharapkan bagi pelaku ekspor tentunya adalah komponen Terminal Handling Charges (THC) yang selama ini masih lebih tinggi secara rerata dibandingkan dengan negara tetangga.
"Kita sekitar US$150, Singapura, US$110; Thailand US$60 per TEUs. Termasuk komponen biaya pandu dan tunda Pelindo untuk trafik internasional masih kurang bersaing dibanding tetangga," ujarnya.
Khususnya untuk layanan bagi kapal-kapal di atas 14.000 GT, biaya di Indonesia hampir dua kali lebih mahal (pilotage dan towage) dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia.
Menurutnya, dua komponen biaya ini yaitu THC dan marine service yang dapat dikendalikan atau lebih ditekan dan tentu akan berdampak pada biaya logistik yang lebih rasional. Pada akhirnya berpotensi mendongkrak volume ekspor terutama untuk komoditas yang bernilai rendah.
Dia juga berpendapat apabila hal tersebut dapat dilakukan, kemungkinan komponen ongkos logistik terutama klaster pelabuhan (baik muat dan bongkar) dapat ditekan yaitu mungkin sekitar 5-6 persen dari angka 24 persen secara agregat.