Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia memproyeksikan krisis energi yang menimpa China berpotensi meningkatkan permintaan batu bara RI ke negara itu.
Ekspor RI ke Negeri Tirai Bambu kian melonjak setelah adanya perang dagang negara itu dengan Australia. Tingginya permintaan tetap terjadi meski harga batu bara thermal Newcastle tembus US$205 per metrik ton pada hari ini untuk kontrak Desember 2021.
“Secara historikal permintaan batu bara Indonesia ke China meningkat terus. Harusnya sih meningkat [ekspor batu bara 2021] dibandingkan 2020,” katanya kepada Bisnis, Selasa (28/9/2021).
Selama ini China dan India merupakan pemasok paling besar komoditas batu bara Tanah Air. Meski demikian dia enggan memproyeksikan berapa persen pertumbuhan ekspor batu bara ke China hingga akhir tahun ini.
Tahun lalu, APBI dan China Coal Transportation and Distribution (CCTDA) sempar menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) untuk memasok hingga 200 juta ton batu bara ke China.
Akan tetapi menurut Hendra, kesepahaman tersebut bukan berarti menandatangani kontrak. Pasalnya kontrak pembelian hanya dilakukan secara Business to Business (B2B) antar perusahaan penerima dan pemasok batu bara.
“Anggota ingin meningkatkan ekspor kita. Pembeli dari China juga ingin mengimpor lebih banyak. Tapi kan nanti kejadiannya masing-masing anggota kita dan anggota mereka kan bagaimana B2B-nya.”
Senada, Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Djoko Widajatno menjelaskan naiknya permintaan ekspor ini terjadi setelah sejumlah negara produsen mengalihkan baru bara ke negara industri di Eropa.
Dia memperkirakan sejumlah negara pemasok seperti Afrika Selatan dan Polandia menyalurkan ke sejumlah negara industri seperti Jerman, Inggris dan Jepang. “Harapannya [China memperoleh impor] dari Indonesia. Australia dilarikannya ke negara-negara yang masih menerima dia,” terangnya.