Bisnis.com, JAKARTA — Ekspor batu bara Indonesia ke China diperkirakan meningkat setelah negara itu mengalami krisis energi akibat pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
China mengalami krisis listrik usai perekonomian di negara itu mulai tumbuh. Industri mengalami rebound yang menyebabkan peningkatan kebutuhan terhadap energi.
Pemulihan ini terjadi di tengah upaya China berebut batu bara untuk terus menghidupkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Di sisi lain Presiden Xi Jinping juga tengah berambisi menekan emisi dengan pembangkit berbasis energi bersih untuk persiapan Olimpiade 2022.
Sejumlah industri yang terdampak langsung di antaranya smelter aluminium hingga produsen tekstil dan pabrik pengolahan kedelai. Pemerintah China mencatat hampir setengah wilayah di negara itu melewatkan target konsumsi listrik nasional.
Di sisi lain, China juga menghadapi persoalan harga batu bara yang kian membengkak. Kondisi ini berlangsung akibat tingginya permintaan dunia terhadap batu bara. Namun pasokan yang dimiliki negara produsen cukup terbatas. Salah satunya disebabkan faktor cuaca buruk.
Berdasarkan data Bloomberg, harga jual batu bara thermal Newcastle untuk kontrak Desember 2021 tembus US$205 per metrik ton pada Selasa (28/9/2021). Angka ini meningkat hingga 3,30 persen secara harian.
Baca Juga
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan bahwa krisis listrik yang menimpa negara itu berpotensi meningkatkan permintaan batu bara dari Indonesia ke China.
Selama ini, kontribusi ekspor batu bara Indonesia dipasok ke China. Ekspor RI ke Negeri Tirai Bambu kian melonjak setelah adanya perang dagang negara itu dengan Australia.
“Secara historikal permintaan batu bara Indonesia ke China meningkat terus. Harusnya meningkat [ekspor batu bara 2021] dibandingkan 2020,” katanya kepada Bisnis, Selasa (28/9/2021).
Para pekerja Tiongkok hilir mudik saat asap mengepul dari pembangkit listrik tenaga batu bara di Shanxi.Kevin Frayer /Bloomberg/Getty Images
Dia menyebutkan bahwa kenaikan ekspor tiap tahun terjadi untuk China. Selama ini China dan India merupakan peminat paling besar komoditas batu bara Tanah Air. Meski demikian dia enggan memproyeksikan berapa persen pertumbuhan ekspor batu bara ke China hingga akhir tahun ini.
Tahun lalu, APBI dan China Coal Transportation and Distribution (CCTDA) sempat menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) untuk memasok hingga 200 juta ton batu bara ke China.
Akan tetapi menurut Hendra, kesepahaman tersebut bukan berarti menandatangani kontrak. Pasalnya kontrak pembelian hanya dilakukan secara Business to Business (B2B) antar perusahaan penerima dan pemasok batu bara.
“Anggota ingin meningkatkan ekspor kita. Pembeli dari China juga ingin mengimpor lebih banyak. Tapi kan nanti kejadiannya masing-masing anggota kita dan anggota mereka kan bagaimana B2B-nya.”
Senada, Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Djoko Widajatno menjelaskan naiknya permintaan ekspor ini terjadi setelah sejumlah negara produsen mengalihkan batu bara ke negara industri di Eropa.
Dia memperkirakan sejumlah negara pemasok seperti Afrika Selatan dan Polandia menyalurkan ke sejumlah negara industri seperti Jerman, Inggris dan Jepang.
“Harapannya [China memperoleh impor] dari Indonesia. Australia dilarikannya ke negara-negara yang masih menerima dia,” terangnya.
Sementara itu, sumber Bisnis menyebutkan bahwa sebagian dari permintaan China dipasok dengan harga murah. Kemungkinan komoditas dengan harga di bawah HBA maupun DMO ini diperoleh dari sumber yang tidak jelas.
Meski demikian, produsen batu bara mengaku ekspor komoditas ini ke China tetap sesuai kontrak yang ada. PT Indika Energy, Tbk misalnya, sejauh ini masih memenuhi kontrak-kontrak yang telah disepakati.
“Alokasi batu bara sudah direncanakan sesuai kontrak,” ujarnya.