Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin mengatakan indeks biaya produksi gula dalam negeri terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara lain.
Bustanul berpendapat indeks itu ditenggerai karena minimnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada peningkatan produksi gula dalam negeri. Berdasarkan laporan International Trade Center, indeks biaya produksi gula Indonesia sebesar 192 atau hampir dua kali lipat dari milik Brazil dengan angka 100.
“Jika dilihat dari sini saling bertentangan, di satu sisi Indonesia ingin mengejar swasembada gula di saat yang sama mengembangkan gula rafinasi, ini analoginya agak sulit,” kata Bustanul saat Webinar Modernisasi Gula Negara, Selasa (28/9/2021).
Konsekuensinya, Bustanul menambahkan, impor gula Indonesia relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Indonesia, seperti dilaporkan International Trade Center, memilki indeks 4,1 untuk impor gula melampui China dengan angka 3,4 dan Amerika Serikat dengan indeks 2,9.
“Industri makan dan minuman dalam negeri berkembang pesat belakangan ini, akibatnya kita jadi importir terus,” kata dia.
Sebelumnya, Holding BUMN perkebunan, PT Perkebunan Nusantara III, membidik swasembada gula kristal putih (GKP) konsumsi melalui penguatan kemitraan dengan petani. Target ini dipatok seiring dengan terbentuknya holding pabrik gula di bawah naungan PT Sinergi Gula Nusantara atau SugarCo.
Baca Juga
Direktur Utama PTPN III Mohammad Abdul Ghani menjelaskan bahwa peningkatan produksi gula tidak bisa dicapai tanpa memperkuat kemitraan dengan petani. Dalam situasi saat ini, dia mencatat bahwa sisa hasil usaha (SHU) petani tebu hanya berkisar Rp3,7 juta per hektare (ha) per tahun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan SHU petani padi yang mencapai Rp11 juta per ha per tahun.
“Kalau petani tidak disentuh, sia-sia upaya menaikkan produksi nasional karena makin banyak yang beralih ke tanaman lain yang lebih menguntungkan. Dalam lima tahun terakhir areal petani turun terus karena memang pendapatannya tidak menarik,” kata Abdul dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Senin (20/9/2021).
Dalam target perusahaan, pada 2024 petani mitra setidaknya bisa mencapai SHU sebesar Rp21,2 juta per ha per tahun. Nilai tersebut diharapkan bisa menyentuh Rp36,5 juta pada 2030.
“Selama perkebunan PTPN tidak bisa menaikkan pendapatan petani di atas Rp11 juta [SHU pertanian padi], jangan harap petani mau menanam tebu, jadi patokan kami harus di atas Rp11 juta,” tambahnya.