Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengeluhkan harga pokok produksi (HPP) dan harga eceran tertinggi (HET) gula tani yang masih berpijak pada regulasi tahun 2016 lalu. Padahal, biaya produksi gula dari petani sudah melambung tinggi pada tahun ini.
Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikun mengatakan kondisi itu tidak menguntungkan petani tebu di sejumlah daerah. Konsekuensinya, produksi tebu dari petani lokal relatif menyusut yang diimbangi dengan kebijakan impor dari pemerintah setiap tahunnya.
“Sejak 2019 kami rugi, keputusan Rp12.500 itu adalah HET yang ditetapkan pada 2016, sampai tahun ini tidak berubah. Apakah benar bahwa kebutuhan kita untuk memproduksi tanaman tebu itu semakin murah,” kata Soemitro saat Webinar Modernisasi Gula Negara, Selasa (28/9/2021).
Dia menuturkan, gula dari petani sempat disetujui untuk dibeli oleh sejumlah importir senilai Rp11.500 pada tahun lalu. Hanya saja, rencana itu tidak kunjung terealisasi.
Belakangan, petani menjual gula dengan harga berkisar pada Rp10.500 kepada Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). Dia mengatakan penawaran petani itu juga tidak ditanggapi.
“Tidak laku juga, jadi kita ini turun hasil gula kita tahun ini, tidak ada petani hari ini yang menjual gula di atas Rp11.000, di atas Rp10.500 saja sudah jagoan itu,” kata dia.
Baca Juga
Berdasarkan catatan APTRI, rata-rata produksi gula dari petani sebesar 5,14 ton per hektarare di atas lahan seluas 418.000 hektare setiap tahunnya. Setelah melalui bagi hasil dengan pabrik gula terkait, produksi gula dari petani berada di kisaran 3,39 ton per hektare.
“Ini menunjukkan biaya tebang, angkut, termasuk biaya produksi gula setelah digiling di pabrik gula dipotong bagi hasil atau upah maka biaya pokok kita sangat tinggi,” kata dia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyebutkan bahwa stok gula konsumsi saat ini bisa memenuhi kebutuhan sampai lima bulan ke depan atau sampai awal 2022.
Namun, pemerintah belum bisa memastikan kebutuhan impor pada 2022. Laporan dari pabrik gula BUMN, swasta, dan Perum Bulog memperlihatkan bahwa stok gula per 17 September berada di angka 1,19 juta ton. Dengan kebutuhan rata-rata bulanan sebesar 234.000 ton, stok tersebut diproyeksi bisa memenuhi kebutuhan selama 5,1 bulan ke depan.
“Stok bisa memenuhi kebutuhan lima5 bulan ke depan. Namun untuk perhitungan kebutuhan impor perlu mengacu pada data Badan Ketahanan Pangan,” kata Oke, Senin (20/9/2021).
Dari jumlah stok tersebut, Oke menjelaskan 1,12 juta ton di antaranya merupakan gula kristal putih (GKP) dari tebu produksi dalam negeri, sementara GKP asal gula mentah impor sebanyak 37.127 ton.
Adapun stok gula yang dikelola Perum Bulog berjumlah 9.649 ton. “Per 4 September masih ada sisa stok GKP impor milik RNI yang telah terjual, tetapi masih di gudang RNI sebesar 21.312 ton,” tambahnya.