Bisnis.com, JAKARTA - Bank Mandiri memperkirakan manajemen fiskal pemerintah yang sehat akan berlanjut seiring dengan percepatan pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.
Akan tetapi, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro melihat masih ada sejumlah risiko yang perlu diwaspadai dan diantisipasi khususnya dari eksternal atau perkembangan pemulihan ekonomi global.
"Masih terdapat risiko khususnya dari perkembangan ekonomi global ke depannya [perubahan kebijakan moneter global yang lebih awal misalnya tapering], yang dapat menyebabkan volatilitas pada pasar keuangan dan bisa berdampak pada nilai tukar, suku bunga, dan yield SBN," jelas Andry pada kajiannya yang dikutip Bisnis, Jumat (24/9/2021).
Meski risiko tetap ada, Andry melihat ada optimisme dari anggaran negara yang dinilainya sejauh ini mencerminkan upaya penyeimbangan untuk menstimulasi ekonomi dengan defisit yang manageable, serta manajemen kewajiban (liability management) yang bijak.
Seperti diketahui, defisit APBN Agustus 2021 tercatat sebesar Rp383,2 triliun. Defisit terjadi atas realisasi belanja negara sebesar Rp1.560,8 triliun, dengan penerimaan pajak sebesar Rp741,3 triliun, bea cukai Rp158 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp158 triliun.
Defisit tersebut setara dengan 2,32 persen terhadap PDB dan lebih kecil dari yang ditetapkan pada Undang-Undang (UU) APBN 2021 yaitu 5,7 persen dari PDB. Defisit ini lebih rendah -23,9 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dari tahun sebelumnya, yang mana juga berarti realisasi pembiayaan yang lebih kecil -20,6 persen (yoy)).
Baca Juga
"Hingga Agustus, defisit primer lebih rendah 45 persen (yoy) dan diperkirakan akan membaik ke depannya," jelas Andry.
Di sisi lain, pemerintah juga melakukan pembiayaan APBN sebagian melalui penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL), selain dengan menggunakan burden sharing antara BI dan pemerintah via SKB III.
Upaya untuk mengurangi beban bunga juga ditunjukkan dengan keberhasilan liability management, melalui skema tender offer untuk membeli kembali delapan seri global bond atau obligasi global yang dimiliki oleh investor, senilai US$1,16 miliar.
"Beban bunga yang lebih rendah nantinya akan diterjemahkan ke dalam keseimbangan primer yang membaik," ujarnya.