Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan real estat asal China Evergrande tengah menghadapi gagal bayar karena terbebani utang senilai US$300 miliar atau setara dengan Rp4.290 triliun (kurs Rp14.300 per dolar AS).
Utang Evergrande tersebut terdiri dari tagihan, pinjaman, dan pembayaran obligasi. Raksasa properti dari China itu akan melakukan pembayaran bunga obligasi sebesar US$84 juta atau Rp1,2 triliun pada Kamis mendatang, (23/9/2021).
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengingatkan adanya sejumlah risiko terkait dengan krisis Evergrande yang dapat berdampak pada pasar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satunya adalah potensi risk-off sentimen dari investor global ke emerging markets.
"Risiko yg harus diantisipasi terkait krisis Evergrande adalah adanya potensi risk-off sentiment dari global investors ke negara EM lainnya khususnya di kawasan Asia," kata Faisal kepada Bisnis, Selasa (21/9/2021).
Risk-off sentiment atau sentimen yang membuat para investor dan trader lebih dominan mengambil langkah untuk menghindari risiko dengan cara menarik dananya dari bursa saham.
Dengan adanya krisis pada perusahaan Evergrande, Faisal melihat sentimen risk-off akan memberikan tekanan terhadap yaitu naiknya imbal hasil obligasi (bond yield), rendahnya harga ekuitas, dan pelemahan rupiah.
Meski demikian, kepemilikan asing terhadap SBN Indonesia hanya berkisar 22 persen-23 persen. Oleh karena itu, dampaknya diperkirakan tidak akan terlalu besar. "Jadi sudah mengecil sehingga dampaknya saya rasa tidak akan terlalu besar," katanya.
Faisal menilai dampak yang disebabkan oleh krisis Evergrande di 2021 ini kemungkinan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jatuhnya Lehman Brothers asal Amerika Serikat (AS), yang memicu krisis 2008.
"Dampaknya kemungkinan akan jauh lebih kecil karena faktor interlinkage yang lebih terbatas dengan sektor keuangan Global," tambahnya.
Adapun, potensi efek rambatan atau spill-over effect dari Evergrande default ke Indonesia lainnya yang berpotensi terjadi adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi China, sehingga menyebabkan rendahnya harga komoditas.
Rendahnya harga komoditas bisa berimbas pada terbatasnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia, karena besarnya dukungan ekspor pada pertumbuhan PDB nasional selama pandemi Covid-19. Hal itu terbukti dari surplus neraca dagang yang telah berlangsung selama 16 bulan.
"Tapi dari sini bisa muncul peluang yakni China will maintain its investment abroad due to lower domestic demand," pungkasnya.