Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

NDC: Energi Fosil Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca pada 2030

Institute for Essential Service Reform menilai sistem energi terbarukan merupakan solusi yang tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di masa mendatang. 
Petugas mengecek instalasi di PLTP Kamojang, Garut, Jawa Barat, Rabu (8/9/2021). Pertamina menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 diantaranya melalui pemanfaatan energi rendah karbon dan efisiensi energi sebagai komitmen perseroan terhadap implementasi Environmental, Social and Governance (ESG). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Petugas mengecek instalasi di PLTP Kamojang, Garut, Jawa Barat, Rabu (8/9/2021). Pertamina menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 diantaranya melalui pemanfaatan energi rendah karbon dan efisiensi energi sebagai komitmen perseroan terhadap implementasi Environmental, Social and Governance (ESG). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Bisnis.com, JAKARTA – Energi fosil akan menjadi penyumbang emisi terbesar pada 2030 hingga mencapai 58 persen berdasarkan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC). 

Dokumen tersebut juga menyebutkan bahwa langkah transformasional untuk bertransisi energi perlu dilakukan seiring dengan semakin kritisnya kenaikan suhu bumi. 

Institute for Essential Service Reform menilai sistem energi terbarukan merupakan solusi yang tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di masa mendatang. 

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terbaru memprediksi bila negara di dunia tidak menerapkan langkah yang ambisius dalam memitigasi perubahan iklim, maka kenaikan suhu bumi melebihi 1,5 derajat Celcius akan berlangsung hanya dalam dua dekade mendatang. 

Pada 2080-2100, kenaikan temperatur rata-rata bumi bahkan dapat mencapai 3,3 - 5,7 derajat Celcius. Selain itu, dampak cuaca ekstrem akan lebih sering terjadi ketika temperatur rata-rata bumi naik melebihi 1,5 derajat Celcius seperti hujan lebat, kekeringan, dan heatwave. Beberapa perubahan tersebut bahkan tidak bisa diperbaiki.

“Perubahan iklim berdampak bagi Indonesia, terutama dengan meningkatnya intensitas hujan. Pemerintah perlu melakukan adaptasi dan mitigasi. Tidak ada waktu untuk berleha. Tindakan mitigasi harus dilakukan dengan mereduksi jumlah emisi karbon di atmosfer,” kata Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC, Prof Edvin Aldrian dalam webinar Indonesia Energy Transition Dialogue, Selasa (14/9/2021).

Di saat yang sama, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai Indonesia masih belum selaras dengan Paris Agreement untuk menekan emisi gas rumah kaca. Selain terlambat 10 tahun dari target persetujuan paris, IESR menilai skenario mitigasi di sektor energi dalam dokumen tersebut masih sarat dengan energi fosil. 

“Skenario low carbon scenario compatible with Paris Agreement target dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience tidak mencerminkan Indonesia mengatasi krisis iklim,” katanya. 

Menurutnya, upaya pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca dengan teknologi seperti CCS/CCUS belum efektif dalam menurunkan emisi PLTU. Skenario ini katanya justru menjauhkan target transformasi sistem energi berbasis pada teknologi terbaik yang lebih handal, bersih, dan kompetitif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper