Bisnis.com, JAKARTA – Industri di Indonesia harus memenuhi potensi kebutuhan modul surya sekitar 600 megawatt peak (MWp) sampai dengan 1.200 MWp per tahun untuk mencapai target kapasitas terpasang 3,6 gigawatt (GW) pada 2025.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya menilai bahwa industri di Indonesia belum memenuhi potensi kebutuhan tersebut.
Demi mencapai target 3,6 GW pada 2025, industri dalam negeri harus memenuhi kebutuhan pasar 600–1.200 MWp dengan asumsi kenaikan 20 persen per tahun.
“Saat ini baru ada 17 pabrikan modul dengan kapasitas 524 MWp [per tahun]” katanya saat webinar refleksi empat tahun gerakan nasional sejuta surya atap (GNSSA), Senin (13/9/2021).
Selain kemampuan produksi tahunan modul surya dalam negeri, Kementerian ESDM mencatat maksimum kapasitas per modul surya yang dapat diproduksi di dalam negeri hanya 440 MWp.
Kondisi itu menuntut industri tersebut untuk lebih mengembangkan kemampuan pelaku usaha lokal. Langkah itu juga sejalan dengan perkembangan teknologi di tingkat global.
“Sehingga terlihat [potensi] kapasitas 1.200 MW ini juga memberikan tambahan effort bagi mereka agar lebih mengembangkan dan makin masuk industri dalam negeri agar tumbuh kembali,” terangnya.
Di sisi lain, Kementerian ESDM juga menemukan total potensi PLTS atap yang dapat dikembangkan sebesar 32,5 GW. Angka itu terbagi pada sejumlah sektor, seperti rumah tangga 19,8 GW, Bisnis 5,9 GW, Industri 1,9 GW, segmen sosial 4,6 GW, dan pemerintah 0,3 GW.
Sementara itu, penggunaan daya melalui PLTS atap masih berada pada 35,56 MWp dengan 4.028 pelanggan. Meski segmen rumah tangga mendominasi 3.300 pelanggan yakni 8,7 MWp, namun pemakaian terbesar justru dilakukan oleh sektor industri yakni 11,5 MWp.
Sementara itu, Eka Himawan, President Director PT Xurya Daya Indonesia menilai, tingginya minat pelaku industri terhadap instalasi PLTS atap juga seiring dengan meningkatnya konsumsi produk hijau melalui penggunaan energi listrik dari pembangkit EBT.
“Kini konsumen juga semakin kritis terhadap produk yang dikonsumsinya, apakah proses produksi dan operasionalnya memiliki dampak yang merugikan bagi lingkungan atau tidak,” ujarnya.