Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) berpotensi terlibat dalam pemanfaatan logam tanah jarang untuk diolah menjadi berbagai produk industri pertahanan hingga kesehatan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa sejumlah BUMN sudah atau berpotensi terlibat dalam pemanfaatan bahan tersebut.
“Di antaranya PT Dirgantara Indonesia (Persero), PT PAL Indonesia (Persero), PT Pindad (Persero), PT Dahana (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk., PT Barata Indonesia (Persero), PT Kereta Api Indonesia (Persero), dan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero),” katanya saat webinar Jumat (10/9/2021) malam.
Dia mengakui bahwa pemerintah belum memiliki regulasi spesifik yang mengatur tentang pemanfaatan logam tanah jarang. Pun demikian, saat ini eksekutif sudah memulai tahapan awal menyusun aturan berbentuk Instruksi Presiden.
“Saat ini secara spesifik belum ada regulasi, namun pemerintah sudah membentuk tim, yaitu tim pengembangan industri berbasis logam tanah jarang dan penyusunan Inpres percepatan hilirisasi logam tanah jarang.” terangnya.
Sementara itu, penelitian Kementerian ESDM menemukan kandungan logam tanah jarang di sejumlah kepulauan. Setidaknya 19.000 ton terdapat di Sumatra, 383.000 ton di Pulau Bangka Belitung, serta Kalimantan dan Sulawesi masing-masing memiliki minimal 219 dan 443 ton logam tanah jarang.
Di tingkat global, China memproduksi 84 persen dari total produksi logam tanah jarang dunia. Kemudian Australia 11 persen, Rusia 2 persen, Brazil dan India sebanyak 1 persen.
Indonesia disebut menjadi bagian negara yang memproduksi logam tanah jarang dalam jumlah yang cukup sedikit.
“Namun sedikit-sedikitnya kita punya bahan baku yang cukup untuk kemudian kita kelola sebagai sumber energi masa depan dan sumber bagi penggerak ekonomi masa mendatang,” terangnya.