Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional atau Depenas Adi Mahfud menuturkan penetapan upah minimum provinsi atau UMP tahun 2022 yang mengacu pada kondisi perekonomian makro bertujuan untuk mengurangi kesenjangan besaran upah minimum antar wilayah.
Adapun, perhitungan baku UMP melalui kondisi makro perekonomian tersebut berasal dari amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai turunan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Saat ini sudah ada regulasi yang menetapkan itu, yaitu UU Cipta Kerja untuk mengurangi kesenjangan upah minimum antar wilayah,” kata Adi melalui sambungan telepon kepada Bisnis, Rabu (8/9/2021).
Caranya, kata Adi, perhitungan baku penetapan UMP itu diarahkan untuk menahan laju pertumbuhan upah minimum di wilayah yang besarannya sudah relatif tinggi dibandingkan standar hidup di daerah tersebut.
Selain itu, formulasi penetapan UMP tahun depan bakal memacu laju pertumbuhan upah minimum di wilayah yang capaiannya relatif rendah.
“Makanya di PP itu dihitung menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Ukuran utamanya UMP tahun berjalan,” kata dia.
Baca Juga
Kendati demikian, dia belum dapat memastikan ihwal kenaikan UMP tahun depan. Padahal, kondisi pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2021 sudah bergerak positif di posisi 7,07 persen.
“Belum bisa, masih penyiapan data dan proyeksi tersebut,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, perekonomian Indonesia tumbuh 7,07 persen pada kuartal II/2021. Pertumbuhan yang menandai lepasnya Indonesia dari resesi tersebut ditopang oleh kinerja yang membaik pada sejumlah indikator, termasuk konsumsi rumah tangga.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan bahwa kinerja positif kali ini tidak lepas dari tumbuhnya konsumsi rumah tangga sebesar 5,93 persen. Kontribusi konsumsi rumah tangga juga naik dari 56,93 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada kuartal I/2021 menjadi 57,23 persen pada kuartal II/2021.
“Pertumbuhan konsumsi sudah berada di level 5,93 persen, itu menunjukkan level [konsumsi] sudah kembali, bahkan lebih baik dibandingkan dengan sebelum masa pandemi,” kata Lutfi dalam Dialog Ekonomi, Kamis (5/8/2021).
Dia memerinci pertumbuhan menggembirakan pada sektor usaha yang berkaitan dengan perdagangan di dalam negeri, contohnya adalah usaha transportasi dan pergudangan yang naik 25,1 persen dan akomodasi dan makanan tumbuh 21,58 persen. Selain itu, sektor perdagangan yang mencakup ritel dan perdagangan besar mengalami kenaikan 9,44 persen.
Perdagangan luar negeri juga menjadi sumber pertumbuhan ekonomi lainnya. Dengan kontribusi ekspor sebesar 19,07 persen terhadap PDB, ekspor barang dan jasa tumbuh 31,78 persen secara tahunan. Sementara itu, impor dengan kontribusi 18,72 persen mengalami kenaikan 31,22 persen yoy.
“Untuk Januari sampai Juni 2021, ekspor kita bernilai US$100,2 miliar di mana 97,06 persen di antaranya adalah nonmigas. Sektor ini tumbuh 34,06 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Impor kita tumbuh sehat 28,42 persen dengan nilai US$91 miliar,” kata Lutfi.