Bisnis.com, JAKARTA - Pada 23 Agustus 2021, Dana Moneter Internasional (IMF) memutuskan menyalurkan US$650 miliar Hak Penarikan Khusus atau Special Drawing Rights (SDRs).
Menurut IMF, alokasi tersebut akan menguntungkan semua anggota mengatasi kebutuhan global jangka panjang akan cadangan keuangan, membangun kepercayaan, dan mendorong ketahanan dan stabilitas ekonomi global.
SDRs ini juga akan membantu negara-negara yang paling rentan berjuang untuk mengatasi dampak krisis Covid-19.
IMF bahkan memastikan 42,3 persen SDRs sebesar US$650 miliar akan mengalir ke pasar negara berkembang, termasuk negara berpenghasilan rendah. Jumlahnya sekitar US$275 miliar.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan alokasi umum dana cadangan itu akan berlaku efektif pada 23 Agustus 2021 setelah disetujui oleh dewan gubernur IMF.
"SDR didistribusikan ke negara-negara sebanding dengan pembagian kuota mereka di IMF," ujarnya Agustus lalu.
Baca Juga
Ini berarti sekitar US$275 miliar akan disalurkan ke negara-negara berkembang dan berkembang, di mana negara-negara berpenghasilan rendah akan menerima sekitar US$21 miliar – setara dengan 6 persen dari PDB dalam beberapa kasus.
Alokasi SDR umum dibuat untuk anggota IMF yang merupakan peserta di Departemen Hak Penarikan Khusus (saat ini seluruhnya 190 anggota) secara proporsional dengan kuota mereka yang ada di IMF.
Dikutip dari situs IMF, SDR adalah aset cadangan internasional, yang dibuat oleh lembaga keuangan internasional pada tahun 1969 untuk melengkapi cadangan resmi negara-negara anggotanya.
Hingga saat ini, total SDR 660,7 miliar (setara dengan sekitar US$943 miliar) telah dialokasikan. Ini termasuk alokasi terbaru untuk mengatasi dampak Covid-19.
Nilai SDR didasarkan pada sekeranjang lima mata uang — dolar AS, euro, renminbi Tiongkok, yen Jepang, dan pound sterling Inggris. Dari penelusuran Bisnis, 1 SDR setara dengan US$1,24
Alokasi SDR Indonesia mencapai SDR 4,455.3 milar. Sedikit lebih tinggi dari negara tetangga Malaysia sebesar Malaysia SDR 3,482.8 miliar dan Singapura SDR 3,730.2 miliar.
Menurut Georgieva, IMF juga terlibat dengan negara-negara anggotanya untuk menjalankan Resilience and Sustainability Trust, dimana program ini yang dapat menggunakan SDR yang disalurkan untuk membantu negara-negara yang paling rentan dengan transformasi struktural, termasuk menghadapi tantangan terkait iklim.
Kemungkinan lain adalah menyalurkan SDR untuk mendukung pinjaman oleh bank pembangunan multilateral.
Alokasi SDR ini merupakan komponen penting dari upaya IMF yang lebih luas untuk mendukung negara-negara melalui pandemi, yang meliputi US$117 miliar dalam pembiayaan baru untuk 85 negara; keringanan pembayaran utang untuk 29 negara berpenghasilan rendah; dan saran kebijakan dan dukungan pengembangan kapasitas ke lebih dari 175 negara untuk membantu mengamankan pemulihan yang kuat dan lebih berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menarik Special Drawing Rights [SDR] sebesar 4,46 miliar SDR atau setara dengan US$6,31 miliar dari (IMF).
Hal ini terungkap dari laporan cadangan devisa Agustus, dimana Bank Indonesia (BI) mencatat posisi cadangan devisa indonesia mencapai US$144,8 miliar pada akhir Agustus 2021. Posisi tersebut meningkat sebesar US$7,5 miliar jika dibandingkan dengan posisi pada akhir Juli 2021 sebesar US$137,3 miliar.
“Peningkatan posisi cadangan devisa pada Agustus 2021 terutama karena adanya tambahan alokasi Special Drawing Rights [SDR] sebesar 4,46 miliar SDR atau setara dengan US$6,31 miliar [Rp90,23 triliun] yang diterima oleh Indonesia dari IMF,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, Selasa (7/9/2021).
Erwin sendiri mengemukakan bahwa SDR ini free cost atau tanpa biaya apapun. Ini bukan pertama kalinya Indonesia memanfaatkan haknya di IMF. Saat krisis keuangan 1998, Indonesia juga menarik bantuan dari IMF.
Saat itu, Presiden Soeharto melakukan penandatangan kesepakatan dengan Direktur Pelaksana IMF Micheal Camdesus pada 15 Januari 1997, 23 tahun silam.
Pada 31 Oktober 1997, Indonesia menandatangani Letter of Intent atau LoI yang pertama dengan IMF. Lembaga itu kemudian mencairkan bantuan sebesar SDR 7,3 miliar kepada pemerintah Indonesia pada 5 November 1997. Pencairan pertama senilai SDR 2,2 miliar.
Dikutip dari buku 'Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah' yang ditulis Boediono, pada akhir masa pelaksanaan tiap LoI, IMF akan datang ke Indonesia dan mengecek langsung.
Dalam masa krisis, pembaruan LoI berkembang cepat dan bisa dilakukan tiap bulan. Namun, LOI pertama tidak berhasil. Kemudian, terjadilah LoI kedua yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998.
Pada 25 Agustus 1998, IMF kembali menyalurkan bantuan kepada Indonesia, kali ini dalam bentuk extended fund facility (eff) senilai SDR 5,38 miliar, tetapi yang dicairkan hanya SDR 3,8 miliar. Selanjutnya, pada 4 Februari 2000, Indonesia kembali menerima bantuan sebesar SDR 3,64 miliar.
Namun, kondisi Indonesia pada 1998 tidak menunjukkan perbaikan. Rupiah anjlok dan terjadi likuidasi 16 bank di Tanah Air. Warga panik sehingga terjadi rush di mana-mana.
Dikutip dari Tempo.co, pinjaman IMF tersebut kemudian dicairkan secara bertahap hingga 2003. Utang tersebut diklaim telah lunas pada Oktober 2006 saat pemerintahan SBY. Sisa cicilan utang yang dijadwalkan jatuh tempo pada 2010 senilai total US$ 7,5 miliar, dipercepat pelunasannya pada 2006. Pada Juni 2006, bank sentral telah membayar US$3,7 miliar kepada IMF.