Perekonomian Indonesia triwulan II/2021 tumbuh 7,07 persen terhadap triwulan II/2020. Ini mencengangkan di tengah diterapkannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dengan jumlah kasus aktif Covid-19 rata-rata selama triwulan II/2021 mencapai sekitar 113.218 kasus. Rekor pertumbuhan ekonomi setinggi ini belum pernah terjadi sejak tertinggi dalam 16 tahun terakhir.
Pertanyaannya, apakah angka pertumbuhan ekonomi yang diumumkan BPS memang realita ataukah fatamorgana? Apakah pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen akan berkelanjutan hingga akhir 2021?
Pertanyaan ini memicu diskusi hangat. Saya bukan orang yang mudah heran, apalagi setelah mencermati publikasi dan data BPS. Mari kita lakukan ‘growth diagnosis’. Ibaratnya seperti dokter mendiagnosa penyakit apa yang diderita pasien dengan sejumlah indikator, lalu melakukan tes PCR apakah pasien sudah bebas dari virus corona.
Pertama, pertumbuhan ini berbeda arah bila dibandingkan dengan triwulan yang sama pada 2020 yang minus 5,32 persen, terendah sepanjang pandemi. Pada 2020 triwulan II, produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp2.589,8 triliun. Pada 2021 triwulan II PDB Indonesia menjadi Rp2.772,8 triliun.
Pertumbuhan ekonomi tercatat melonjak drastis hingga 7,07 persen karena dihitung dari PDRB 2021 trilwulan II dikurangi PDRB 2020 trilwulan II, lalu dibagi PDRB 2020 triwulan II. Ibaratnya habis turun mesin, mobil langsung dihidupkan, tancap gas, dan ngebut.
Kedua, apa penopang pertumbuhan ekonomi setinggi itu? Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai sektor transportasi-pergudangan (25,1 persen), diikuti oleh akomodasi-makan minum 21,6 persen.
Sektor industri pengolahan sebagai penyumbang terbesar PDB nasional tumbuh positif 6,58 persen, terutama ditopang oleh melonjaknya pertumbuhan industri alat angkutan, logam dasar, kimia-farmasi-obat, karet-barang dari karet yang semua tumbuh di atas 8 persen.
Tingkat penghunian kamar (TPK) hotel meningkat dari 12,9 persen pada April 2020 menjadi 36,6 persen pada Juni 2021 meski masih di bawah TPK sepanjang 2019 yang mencapai 44-60 persen. Ini pertanda ekonomi Indonesia mulai bangkit dari resesi.
Ketiga, dari sisi pengeluaran, ekspor luar negeri mengalami pertumbuhan tertinggi 31,8 persen, diikuti oleh konsumsi pemerintah 8,06 persen, investasi 7,5 persen, dan konsumsi rumah tangga 5,9 persen. Membaiknya perekonomian global membuat pertumbuhan ekspor melesat, diikuti dengan impor yang tumbuh 31,22 persen. Singkatnya, permintaan agregat secara nasional mulai menggeliat.
Kendati kinerja ekonomi mulai membaik, sejumlah tantangan perlu diwaspadai. Pertama, ironisnya pertumbuhan terendah malah dialami oleh sektor pertanian, yang di masa pandemi yang selalu tumbuh positif sekitar 2,2 hingga 3,3 persen sepanjang 2020, mulai 2021 triwulan II merosot hingga hanya 0,38 persen.
Namun, perlu dicatat nilai tukar petani (NTP) cenderung membaik. NTP merupakan indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Pada 2020, NTP Indonesia terendah pada Mei sebesar 99,5 tetapi terus membaik hingga Juni 2021 menjadi 103,6. Angka NTP di atas 100 artinya kesejahteraan petani membaik karena maknanya petani menerima lebih tinggi daripada yang dibayar.
NTP yang meningkat dialami khususnya oleh subsektor tanaman pangan, tanaman perkebunan rakyat, dan peternakan.
Kedua, dampak pandemi telah mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran meningkat. Tingkat kemiskinan melonjak dari 9,22 persen pada September 2019 menjadi 10,19 persen pada September 2020. Mulai sedikit menurun menjadi 10,14 persen pada Maret 2021 dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 27,5 juta jiwa.
Tingkat pengangguran merembet dari 4,9 persen Februari 2019 menjadi 7,07 persen Agustus 2020, lalu mulai menurun menjadi 6,26 persen pada Februari 2021.
Ketiga, ketimpangan antar golongan pendapatan dan daerah masih tinggi. Rasio gini meningkat dari 0,38 pada September 2019 menjadi 0,385 pada September 2020, lalu mulai menurun menjadi 0,384 pada Maret 2021.
Secara spasial, rasio gini antar provinsi masih amat timpang, dengan tingkat rasio gini tertinggi adalah Provinsi DIY (0,441) dan terendah Kepulauan Bangka Belitung (0,256). Golongan 40 persen berpendapatan menengah dan 20% terkaya justru menikmati porsi pendapatan yang lebih tinggi daripada 40 persen berpendapatan terendah, dengan masing-masing menikmati bagain pendapatan sebesar 34—36 persen dan 45—49 persen.
Efek ‘merembes ke bawah’ belum terjadi di Indonesia, yang muncul justru berlanjutnya ‘trickle-up’ (muncrat ke atas) dalam ekonomi Indonesia (Mudrajad Kuncoro, Trickle-up Effect dan Unbalanced Growth, EB News, 29/4/2016).
Singkatnya, sudah ada tanda pulihnya ekonomi hingga Juni 2021 tetapi secara keseluruhan belum pulih dari ‘sakit’. Fenomena inclusive development di Indonesia tampaknya belum terjadi, malah kinerja sosial dan ketenagakerjaan makin jauh dari target gara-gara pandemi.
Pertanyaannya, apakah pemulihan ekonomi Indonesia akan berlanjut di tengah diberlakukannya PPKM sejak Juli 2021?
Presiden Joko Widodo menyampaikan strategi 'rem dan gas' yang diterapkan dalam menangani pandemi Covid-19 sudah mulai kelihatan hasilnya. Kini saatnya kita mencari akar masalah penyakit ‘growth without equity' di negeri ini, tidak hanya fokus menangani keseimbangan aspek kesehatan dan pertumbuhan ekonomi.