Bisnis.com, JAKARTA — Ekstensifikasi atau perluasan objek cukai mendesak untuk menopang penerimaan negara di tengah lesunya kinerja pajak. Terlebih, potensi penerimaan dari penambahan barang kena cukai cukup besar, yakni mencapai Rp13,52 triliun per tahun.
Data Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan menunjukkan estimasi penerimaan tersebut berasal dari dua barang kena cukai (BKC) baru, yakni plastik dan minuman bergula dalam kemasan (MBDK).
Secara terperinci, cukai plastik dibagi ke dalam empat kategori. Pertama, cukai kantong plastik dengan estimasi penerimaan per tahun senilai Rp1,61 triliun. Kedua cukai kemasan dan wadah plastik yang diperkirakan menyumbang penerimaan mencapai Rp3,30 triliun per tahun.
Ketiga, cukai diapers dengan estimasi penerimaan Rp1,34 triliun per tahun dan keempat, cukai alat makan dan minum sekali pakai dengan potensi Rp1,02 triliun per tahun.
Adapun, estimasi penerimaan dari cukai minuman berpemanis kemasan atau MBDK jauh lebih tinggi, yakni mencapai Rp6,25 triliun per tahun.
Namun, dari kelima jenis BKC tersebut tercatat hanya empat yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun lalu, yakni cukai barang plastik.
Baca Juga
Sementara itu, cukai minuman berpemanis sejauh ini masih belum mendapat lampu hijau kendati otoritas kepabeanan dan cukai telah mengajukan penambahan BKC tersebut ke parlemen.
“Cukai minuman berpemanis dalam kemasan sudah kami presentasikan pada 2020 [kepada DPR] saat mengajukan cukai plastik,” kata Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto, Kamis (2/9/2021).
Dia menambahkan, minuman berpemanis yang akan dikenai cukai berlaku umum, yakni minuman berkemasan cair maupun kemasan ekstrak atau serbuk. Pemerintah juga menerapkan batasan kadar gula terhadap produk MBDK yang akan dijadikan BKC.
Khusus untuk cukai plastik, sebenarnya telah masuk ke dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) sejak 2017 silam. Hanya saja implementasinya hingga kini masih nol.
Bisnis mencatat, pada 2017 penerimaan negara dari cukai kantong plastik dianggarkan sebesar Rp1,6 triliun, kemudian turun menjadi Rp500 miliar pada 2018 dan 2019, serta senilai Rp100 miliar pada 2020.
Pada tahun ini, mengacu pada Peraturan Presiden No. 113/2020 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2021, target pendapatan cukai plastik ditetapkan senilai Rp500 miliar.
Angka Rp500 miliar itu merupakan jalan tengah yang disepakati antara Kementerian Keuangan dengan DPR, setelah usulan awal pemerintah yakni senilai Rp1,5 triliun ditolak oleh Badan Anggaran (Banggar).
Nirwala menambahkan, pembahasan cukai untuk produk plastik memang berjalan dengan mulus.
Akan tetapi, sejak tahun lalu pemerintah dan DPR sepakat untuk menunda perumusan cukai minuman berpemanis dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini.
“Kalau cukai plastik sudah mendapatkan persetujuan, tinggal menyusun PP [peraturan pemerintah]. Yang kedua [cukai minuman berpemanis] apa pemerintah tega dalam kondisi sekarang?” tanya Nirwala.
Dia menambahkan, di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 pemerintah tidak berfokus pada upaya untuk mengejar penerimaan, melainkan berusaha dengan maksimal untuk menciptakan stabilitas ekonomi.
Kendati telah dirumuskan sejak jauh-jauh hari, implementasi dari pengenaan cukai terhadap BKC baru memang cukup sulit.
Pemerintah dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2022 menyatakan bahwa melalui cukai plastik, potensi peningkatan basis baru terkait dengan penerimaan perpajakan cukup besar.
Selain itu, pemerintah berharap melalui kebijakan ini fungsi pengendalian konsumsi terhadap objek tersebut dapat dilaksanakan lebih baik.
Akan tetapi, dengan berbagai kendala yang ada, pemerintah pesimistis dapat merealisasikan target yang ditetapkan untuk cukai plastik pada tahun depan.
“Mengingat pembahasan peraturan pelaksanaan yang belum final, masih terdapat ketidakpastian pelaksanaan dari cukai plastik pada tahun depan,” tulis pemerintah dalam RAPBN 2022 yang dikutip Bisnis.
Jika pungutan terkendala, tulis pemerintah, maka akan menjadi sumber risiko terhadap penerimaan cukai pada tahun depan.
Di sisi lain, substansi mengenai pungutan cukai plastik juga diakomodasi di dalam Rancangan UU tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Hanya saja, pembahasan RUU sapu jagat di bidang perpajakan ini sangat alot dan membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mencapai kesepakatan.
Kaji Lebih Jauh
Anggota Komisi XI DPR-RI Eriko Sotarduga mengatakan pemerintah perlu mengkaji lebih jauh terhadap barang-barang yang berpotensi dikenakan cukai.
Perluasan obyek cukai perlu segera dibahas pemerintah dan DPR, dan hal ini terkait dengan barang-barang yang diharapkan dapat dikurangi konsumsinya, seperti makanan minuman yang tinggi kandungan Gula, Garam dan Lemak (GGL), salah satu contohnya minuman berkarbonasi.
“Konsumsi GGL yang terus bertambah mengakibatkan meningkatnya risiko kesehatan, [pengenaan] cukai akan membantu membuat masyarakat lebih menyadari menjaga kesehatan diri, tanpa harus memberatkan,” ucapnya. Untuk itu, ia menekankan pentingnya Pemerintah membuat peta jalan perluasan obyek cukai.
Senada, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esa Suryaningrum mengatakan kebijakan ekstensifikasi cukai dilakukan pemerintah sudah tepat.
Sebab, selama puluhan tahun hanya ada tiga obyek cukai di Indonesia, dan Pemerintah menjadikan Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai kontributor utama cukai.
“IHT layaknya angsa bertelur emas, yang terus diandalkan untuk mampu memenuhi target penerimaan cukai, meski dengan tarif cukai yang kian meningkat yang dibebankan,” katanya.
Esa menjelaskan jika tarif cukai IHT terus dinaikan, hal ini tidak akan optimal dan malah akan memberikan dampak lain seperti perdagangan rokok illegal.
“Saat inipun meski memenuhi target cukai, namun angka produksi hasil tembakau kian menurun,” tambahnya. Untuk itu, Esa turut mendorong adanya peta jalan perluasan cukai.