Bisnis.com, JAKARTA — Ketidaksiapan sistem administrasi perpajakan menjadi penyebab dibatalkannya pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bahan pokok oleh pemerintah.
Sumber Bisnis yang mengetahui masalah ini, mengungkapkan selain desakan dari masyarakat, sistem administrasi yang lemah menjadi penyebab dianulirnya substansi itu dari Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Dia mengatakan pemerintah belum menyiapkan infrastruktur yang kuat untuk mendukung PPN bahan pokok, terutama di sektor pertanian.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor tidak memberikan bantahan maupun pembenaran perihal informasi tersebut.
Dia hanya mengatakan usulan-usulan terkait dengan perubahan aturan perpajakan yang diajukan pemerintah masih dibahas bersama DPR. “Termasuk usulan perubahan terhadap PPN bahan pokok,” kata Neil kepada Bisnis, Kamis (2/9/2021).
Sementara itu, pemerhati pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai perlu kesiapan di setiap sektor untuk mengimplementasikan PPN bahan pokok. Terlebih, sebagian besar sektor pertanian di Indonesia dimiliki oleh pengusaha perorangan.
Baca Juga
“Tentunya hal ini akan menyulitkan dan terlalu membebani pengusaha,” kata dia.
Kendala lain adalah kemampuan mengakses teknologi, mengingat saat ini otoritas pajak menggunakan sistem faktur elektronik.
“Sektor pertanian tersebar di Indonesia, yang akses internetnya tak merata. Ini menjadi tantangan tambahan dari segi administrasi,” ujarnya.
Sekadar informasi, pemerintah akhirnya membatalkan pengenaan PPN Bahan Pokok dalam RUU KUP dan tetap mengacu pada Pasal 4a UU No. 42/2009.
Dengan demikian, bahan pokok tetap mendapatkan fasilitas pengecualian. Artinya, masyarakat tetap bisa mengonsumsi kebutuhan pokok tanpa dibebani dengan PPN sebagaimana yang selama ini berlaku.