Bisnis.com, JAKARTA — Penerapan pajak karbon dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan (RUU KUP) menuai pro dan kontra. Penolakan terutama datang dari sisi pengusaha yang mengeluhkan potensi kenaikan ongkos produksi yang berdampak pada terkereknya harga barang.
Fajar Budiono, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengatakan ekspansi di industri hulu tetap berjalan meski pengusaha sangat mengantisipasi aturan mengenai pajak karbon.
Dibandingkan dengan pajak karbon, Fajar cenderung mengusulkan carbon trading atau perdagangan karbon, sebagai instrumen untuk menekan emisi di industri pengolahan.
"Carbon trading perangkatnya sudah ada dan sudah ada industri hijau," katanya kepada Bisnis, Rabu (1/9/2021).
Dia melanjutkan pajak karbon diperkirakan membebani ongkos produksi antara US$5 hingga US$10. Sementara itu di level barang jadi, bebannya bisa membengkak hingga US$15.
"Beberapa akademisi mengatakan apa yang kami usulkan untuk mendapatkan pajak Rp200 triliun, akan lebih mudah [dengan carbon trading] daripada carbon tax," katanya.
Perdagangan karbon yakni mekanisme transaksi antarpelaku usaha yang memiliki emisi melebihi dari batas yang ditentukan. Sedangkan pajak karbon merupakan pungutan dari setiap kg emisi yang dihasilkan oleh suatu industri.
Sebelumnya hal senada juga disampaikan oleh Analis Industri dan Perdagangan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil Syauqi. Dia mengusulkan alternatif pajak karbon, yakni melakukan perdagangan karbon kepada negara-negara industrial maju. Pasalnya, permasalahan emisi karbon adalah masalah dunia yang perlu ditanggulangi bersama.
Indonesia sebagai paru-paru dunia perlu mendapatkan dukungan dari negara-negara industrial.
"Mereka yang menghasilkan karbon harus membayar kepada Indonesia. Seperti tahun lalu, Norwegia memberikan Rp812,86 miliar kepada kita karena berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan perubahan iklim, dan perdagangan karbon ini perlu dilanjutkan,” katanya.