Bisnis.com, JAKARTA - Mata uang Asia menghadapi tekanan dari berbagai sisi, mulai dari risiko varian delta hingga rencana penarikan stimulus di Amerika Serikat. Laporan mendatang tentang sektor manufaktur China yang melambat dapat menambah tekanan.
Pelaku pasar tengah menantikan data aktivitas pabrik China untuk mendapatkan petunjuk tentang prospek global setelah ekonomi terbesar kedua di dunia itu melambat lebih tajam dari yang diharapkan pada Juli.
Indeks manufaktur utama negara itu telah jatuh sejak April dan penurunan ke wilayah kontraktif dapat memacu peningkatan sentimen risk-off dan merugikan mata uang Asia.
Nilai tukar regional telah berjuang untuk menavigasi dampak dari pandemi, dengan baht Thailand jatuh lebih dari 8 persen untuk tertinggal dari semua mata uang Asia tahun ini. Menurut TD Securities, dolar Taiwan dan yuan China telah terbukti lebih tangguh, tetapi bahkan keduanya bisa kesulitan untuk memperpanjang kenaikan karena prospek meredup.
"Pasar sudah mulai memperhitungkan prospek pertumbuhan global yang lebih lemah di bulan-bulan mendatang, dengan pertumbuhan puncak telah berlalu," kata Mitul Kotecha, kepala strategi EM Asia dan Eropa di TD Securities di Singapura, dilansir Bloomberg, Senin (30/8/2021).
Para ekonom memperkirakan laporan minggu ini akan menunjukkan bahwa indeks manajer pembelian manufaktur China turun menjadi 50,1 pada Agustus, terendah sejak Februari 2020. Angka di atas angka 50 menandakan ekspansi dalam output.
Baca Juga
Ekspor China, penjualan ritel, dan pertumbuhan produksi industri semuanya meleset dari perkiraan ekonom pada Juli karena gelombang baru infeksi virus merusak konsumsi dan pertumbuhan global. Bank sentral sejak itu berjanji untuk menstabilkan pasokan kredit dan meningkatkan jumlah uang yang mendukung perusahaan-perusahaan kecil dan ekonomi riil.
"Untuk Asia, mata uang yang paling sensitif terhadap pertumbuhan adalah ekonomi perdagangan yang lebih terbuka seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan China,” kata Kotecha dari TD Securities.
Dia melanjutkan, negara-negara itu telah melalui krisis Covid, tetapi prospek pertumbuhan yang lebih lemah dan perdagangan yang melambat dapat membatasi kenaikan dalam mata uang mereka.
Pandemi telah sangat merugikan mata uang Asia Tenggara, dengan baht jatuh ke level terendah tiga tahun pada Agustus. Ringgit Malaysia turun ke level terlemah dalam lebih dari satu tahun sementara peso Filipina merosot ke terendah dalam 15 bulan.