Bisnis.com, JAKARTA — Berkurangnya defisit perdagangan Indonesia dengan China bisa menjadi awal untuk perbaikan performa ekspor dan impor nasional. Namun Indonesia harus lebih memperdalam manufaktur di dalam negeri sehingga nilai ekspor bisa lebih tinggi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyebutkan defisit dagang yang dialami Indonesia dari perdagangan dengan China tidak lepas dari liberalisasi yang dilakukan ketika industri belum siap. Tekanan defisit mulai dirasakan sejak Indonesia mengimplementasikan Asean-China FTA.
“Pendorong defisit dimulai saat itu ketika daya saing tidak seimbang, hal ini berlanjut karena penguatan belum dalam,” kata Faisal, Kamis (26/8/2021).
Dia mencatat impor Indonesia dari China 90 persen didominasi produk manufaktur. Di sisi lain, ekspor ke China masih didominasi oleh barang mentah atau setengah jadi dengan nilai tambah yang tidak maksimal.
“Jika dengan struktur sekarang, akan sulit mengejar keseimbangan neraca dagang. Indonesia harus mengubah orientasi ekspor ke produk manufaktur yang nilainya lebih besar,” paparnya.
Peningkatan ekspor ke China yang disumbang oleh ekspor produk tambang seperti besi dan baja sebagai buah dari pendalaman industri di dalam negeri, kata Faisal, menjadi awal yang baik untuk perbaikan struktur. Hanya saja, dia memperingatkan agar Indonesia tidak hanya bertumpu pada besi dan baja.
Baca Juga
“Ini awal yang bagus, dari sisi nilai tambah mengakibatkan ekspor bertambah dan defisit berkurang. Namun tidak bisa berhenti di situ, perlu ada pendalaman lagi,” kata Faisal.
Selain itu, dia mengutarakan bahwa Indonesia juga dihadapkan pada tantangan keterbatasan jenis industri dengan keunggulan komparatif yang besar. Industri besi dan baja sendiri bisa menikmati pertumbuhan pesat karena Indonesia merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia.
“Mungkin pilihannya ada di bahan tambang yang cadangannya besar di Indonesia atau produk perkebunan yang perlu dioptimalisasi lagi penghilirannya,” katanya.