Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan belanja perpajakan pemerintah pada tahun ini berpotensi menembus Rp235 triliun.
Sementara pada 2020, Kementerian Keuangan mencatat total belanja pajak atau tax expenditure pemerintah mencapai Rp228 triliun. Peningkatan pada 2021 disebabkan oleh bertambahnya insentif pajak yang digelontorkan oleh pemerintah, mulai dari pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil dan yacht, hingga insentif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah.
“Basis pajak tahun ini bisa terpengaruh karena banyaknya pengecualian pajak. Tahun lalu belum ada insentif PPN rumah sampai pembebasan PPnBM kapal pesiar 75 persen,” kata Bhima kepada Bisnis, belum lama ini.
Menurutnya, penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan akan menjadi semakin besar dan mempengaruhi realisasi penerimaan pajak, khususnya pada semester II/2021.
Di sisi lain, penerimaan pajak telah mengalami tekanan yang dipengaruhi oleh turunnya pendapatan di sektor utama, seperti industri pengolahan dan perdagangan akibat penerapan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3-4.
Hal ini tercermin dari kinerja industri manufaktur yang melemah, yang mana PMI manufaktur pada Juli 2021 anjlok ke level 40,1, dari sebelumnya 53,5 pada Juni 2021. Padahal, sektor ini memiliki kontribusi 30 persen terhadap penerimaan pajak.
"Dengan penerimaan yang mengalami tekanan, saya memperkirakan defisit anggaran pada tahun ini berpotensi melebar dari target 5,7 persen, yaitu mencapai 6,2 persen dari PDB," ungkapnya.